Chapter 69

418 54 7
                                    

"Seharusnya kau tidak perlu secemas itu

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Seharusnya kau tidak perlu secemas itu."

"Ya! Aku tahu! Aku ... Aku hanya takut kehilangan harta berharga yang ku miliki satu-satunya. Itu alasanku mengapa aku seperti ini ..." Desis Ryan masih menopang keningnya dengan kedua tangannya di atas meja.

Henry meringis kecil akan kesetiaan yang Ryan miliki untuk Lucy, diam-diam Henry begitu mendecak kagum pada sahabatnya itu. Tangannya bergerak menepuk punggung Ryan, "Setelah Lucy sampai, kau harus menyelesaikannya dengan segera. Tapi kau juga harus mengerti kapan ia menginginkan waktu sendiri." Tukas Henry pada Ryan.

"Ya, ia belum tahu kebenarannya. Setidaknya ia akan mengetahui hal itu dari mulutku, bukan mulut jalang kecil itu." Geram Ryan masih tersisa amarah di dalam hatinya.

Henry mengangguk-anggukkan kepalanya. Hingga akhirnya pintu berdecit terbuka menampilkan Pia dan Lucy tengah melangkah masuk dengan jantung yang berdebar.

Dengan cepat Ryan berlari menghampiri Lucy. Kedua tangannya bergerak meremas bahu Lucy, "Sayang ... Kau darimana saja? Kau membuatku cemas--" Tanya Ryan begitu lega setelah melihat keberadaan wanitanya saat ini dalam keadaan baik-baik saja.

Jantung Ryan berdebar dua kali lebih cepat ketika Lucy menepis tangannya itu begitu saja, terlebih lagi Lucy tidak ingin menatap wajah Ryan sama sekali. "Terima kasih sudah menemaniku. Ini sudah sangat malam, kalian bisa menggunakan 2 kamar tamu di atas." Ujar Lucy pada Pia yang tersenyum menatap sahabatnya itu sembari mengusap lengannya dengan lembut.

Pia mengangguk, "Ya, terima kasih." Ujar Pia sebelum Lucy benar-benar melangkah melewati Ryan untuk menaiki tangga.

.
.
.

Ryan dan Henry yang tengah duduk di kursi taman belakang pun seketika bangkit ketika Pia sampai menghampiri keduanya.

"Bagaimana Lucy?" Tanya Ryan masih begitu mencemaskannya.

Pia melangkah ke arah Henry yang dengan cepat mendapatkan rengkuhan lembut dari kekasihnya itu. "Dia sudah tidur. Dia pasti sangat kelelahan karena tadi menangis." Ujar Pia membuat Ryan kembali merasakan nyeri di hatinya.

"Aku tidak bermaksud meneriakinya, sungguh ..."

"Tenang saja, Lucy hanya terkejut." Ujar Pia cukup membuat Ryan sedikit tenang di kursinya.

Pia menyandarkan tubuhnya pada Henry yang kini duduk di sampingnya dengan nyaman. "Kau tidak kedinginan?" Tanya Henry pada Pia perhatian sambil mengeratkan rengkuhannya pada tubuh wanita yang kini tersenyum manis ke arahnya itu.

"Tidak." Jawab Pia. Tangannya bergerak mengusap tangan Henry dengan lembut.

Sejenak keheningan menyelimuti suasana malam yang begitu jauh lebih tenang di bandingkan beberapa jam yang lalu.

Pia menatap Ryan yang masih memijat pangkal hidungnya ingin menanyakan sesuatu. Ia ingin asumsinya terjawab dengan jelas, "Ryan?" Gumam Pia membuat dua pria di dekatnya itu mendongakkan wajahnya menatap Pia. "Bolehkah aku tahu, apa yang terjadi diantara kau dan Queen?" Tanya Pia.

Ryan terdiam.

Henry menatap Pia sembari menggelengkan kepalanya, mencoba berkomunikasi dengan Pia melalui gerakan tubuhnya yang seakan mengatakan, 'Jangan tanyakan sekarang.'

Pia kembali menatap keberadaan Ryan di seberangnya itu dengan sedikit rasa bersalah, "M-maaf ... Lupakan saja." Ujar Pia.

Namun tiba-tiba Ryan menarik napasnya dalam, "Dia menggodaku." Tukas Ryan sambil menatap kedua kakinya yang menginjak ubin halaman belakangnya.

"Dia menyatakan cintanya padaku berkali-kali dan ... Menggodaku." Tukas Ryan lagi kemudian berakhir menatap Pia dengan raut wajah putus asanya. "Kau mengerti arti menggoda seperti apa yang ku maksud kan?" Tanya Ryan pada Pia masih tersirat sedikit emosional di dalam nada bicaranya.

"Ia menciumku. Dan entah mengapa aku bersikap seperti manusia munafik dan begitu suci, ciumannya justru membuatku frustasi dan merasakan takut yang begitu luar biasa." Kepalanya bergerak ke kiri dan ke kanan. "Aku mencemaskan Lucy. Aku mencemaskan hati dan perasaannya. Aku tahu! Aku tahu sikap ku terkesan berlebihan. Tapi ... Mungkin rasa cemas ini tidak sebesar rasa cemas dan khawatir yang Lucy lalui saat dulu memperjuangkan ku sendirian. Bukankah aku lemah? Astaga." Racau Ryan membuat Pia menatap suami sahabatnya itu dengan kasihan.

Pia menarik napasnya sembari membenahi posisi duduknya di dalam dekapan Henry, "Sebaiknya tenangkan fikiranmu dulu Ryan." Ujar Pia memberi saran. "Karena saat bom meledak tepat di hadapan kita, berlari pun sia-sia. Begitupun dengan amarah. Saat emosionalmu naik dan tindakanmu justru menghancurkan semuanya, terkadang memohon maaf pun rasanya percuma." Lanjut Pia berusaha meyakini pria yang begitu kacau di hadapannya itu.

"Percayalah, Lucy akan memaafkan semuanya." Ujar Pia yang telah yakin akan perkataannya.

Ia tersenyum setelah tahu Ryan yang begitu kacau karena mencemaskan Lucy dan kebenaran bahwa Lucy pun sebenarnya sudah memaafkan Ryan.

Misi Pia selanjutnya hanyalah membantu Lucy agar menjadi seorang wanita galak. Lucy harus melatih sisi gelap di dalam dirinya untuk melindungi kebahagiaannya.

.
.
.

Ryan melangkah masuk ke dalam ruangannya yang gelap dan sunyi.

Dilihat olehnya seorang wanita tengah tertidur pulas di atas ranjangnya, perlahan ia tersenyum.

Ia mendaratkan tubuhnya tepat di samping Lucy dan menopang kepalanya menggunakan salah satu tangannya untuk menatap Lucy.

Cintanya begitu besar, dan Ryan mengetahuinya. Ia tidak bisa merusak kebahagiaan yang telah di capainya bersama-sama dengan Lucy.

Tangannya bergerak merapikan rambut-rambut Lucy yang mengenai wajah dengan lembut dan perlahan.

"Maafkan aku, kau pasti sangat terkejut karena aku meneriaki mu tadi." Gumam Ryan seakan berbicara pada pujaan hatinya itu.

Lucy masih memejamkan kedua matanya dengan damai.

"Seharusnya aku tidak meneriakimu. Hanya saja aku takut. Aku takut kau merasakan kecewa lagi ..." Parau Ryan mulai meremas kuat selimbut di dekatnya.

Ia terkekeh kecil, "Tapi aku malah mengecewakanmu sekarang." Lanjut Ryan mengiris hatinya perlahan.

"Maafkan aku ..." Lirihnya berkali-kali.

Ia bergerak menciumi wajah Lucy berkali-kali dengan jejak air mata di pipi pria itu. Dalam seumur hidupnya, Ryan merasa tidak pernah menangis untuk wanita manapun terkecuali Lucy.

"I love you Lucy, maafkan aku." Ujar Ryan untuk terakhir kalinya sebelum ia benar-benar tertidur di samping Lucy.

Tiba-tiba sepasang mata yang terpejam itu terbuka. Air mata nya jatuh menatap keberadaan Ryan di hadapannya.

'Jadi benar ... Queen adalah seseorang itu?' Batin Lucy.

Lucy menatap punggung Ryan itu dengan nanar. Sejujurnya ia telah memaafkan Ryan, hanya saja ia masih terkejut.

Perlahan Lucy bergerak merengkuh tubuh Ryan dari belakang dengan sayang sambil sesekali ia menciuminya kemudian bergumam, "I love you to Ryan."

"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
My Endless Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang