Chapter 17

580 85 8
                                    

"R-Ryan?" Kedua mataku memanas

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"R-Ryan?" Kedua mataku memanas. Air mataku jatuh begitu saja membasahi pipi.

Perlahan aku tersenyum. Seakan mimpiku dan harapanku menjadi kenyataan, akhirnya Ryan kembali padaku. Ia datang padaku dan menatapku lebih dulu.

Ia mencengkram kuat pergelangan tanganku seakan ia tidak ingin kehilanganku lagi. Seakan-akan ia tidak ingin melihatku terpuruk.

"Bisakah kita bicara?" Tanyanya membuat senyumku perlahan memudar.

Suaranya sangat dingin dan angkuh. Ia tidak berbicara manis lagi padaku. Aku baru saja salah paham rupanya.

"Tidak, ia sedang sibuk. Lepaskan tangannya." Ujar Pia dibelakangku. Aku tidak terusik dengan suara Pia yang membuat suasana restoran menjadi begitu tegang akan pemandangan dramatis antara aku dan Ryan.

Tidak, bagiku tidak dramatis. Inilah hidupku, dan aku menjalaninya.

Aku masih terpaku akan garis wajah dan rahang yang begitu tegas milik pria di hadapanku. Gaya rambut, pakaian dan ... Tato yang sepertinya baru saja ia buat di sisi kanan lehernya itu menarik perhatianku. Semuanya seperti kembali seperti semula, Ryan yang pertama kali aku temui. Pria angkuh dan dingin dengan gaya yang mampu memikat banyak wanita dalam sekejap.

Hanya satu yang sangat ku kenali hingga saat ini. Aroma tubuhnya tidak berubah, ia masih menyukai aroma mint. Wangi yang selalu ku hirup dalam-dalam setiap tertidur hingga bangun tidur.

Aku meringis ketika mataku menyipit untuk memperjelas bacaan tato berukuran kecil yang baru ia pasang di kulit lehernya.

Air mataku kembali jatuh. Hatiku seakan ditusuk ribuan panah, rasanya sangat panas dan nyeri. Nama itu benar-benar terlukis di kulitnya.

'Jassy'

Nama itu terukir dengan cantik di kulit leher nya yang terekspos bebas.

FlashbackON

Aku menjerit dan tertawa bersamanya. Bersama seorang pria yang telah menjadi suamiku dan berjanji akan hidup bersama hingga akhir hayat.

Otot wajahku pegal dan perutku mulai sakit karena tertawa keras. Ia terus menggelitiki ku tanpa henti dan menciumi leherku.

"Ryan! Hentikan, aku tidak kuat. Astaga!" Tawaku pecah lagi-lagi dan akhirnya ia berakhir menopang tubuhnya sendiri di atasku menggunakan kedua tangannya.

Tubuhnya yang polos sepertiku dan terkena cahaya matahari dari balik tirai membuatku tertegun sebentar.

Jari jemarinya mengusap dahiku dengan lembut sebelum menciumnya dengan penuh kasih dan sayang. Mataku terpejam menikmati setiap sentuhan yang ia berikan padaku.

"I love you, Lucyana." Tukasnya dengan suara yang serak.

Aku tersenyum. "I love you to, Ryan." Ungkapku mengatakan hal yang sebenarnya jauh dari kata mendefinisikan betapa besarnya cintaku padanya. Sepotong kalimat itu sepertinya tidak mampu mewakili cintaku pada pria usil di hadapanku saat ini.

My Endless Love [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang