45.

2.3K 256 101
                                    

📌 24 April 2020

Happy Reading

~

Lily menggigit bibir bawah untuk menahan isak tangis. Matanya masih terus mengalirkan air mata sejak tadi siang.

Napasnya putus-putus dan dadanya terasa sesak. Hampir lima belas jam perjalanan Lily habiskan untuk menangis.

Berkali-kali batinnya berperang, menyalahkan diri sendiri dan sibuk menyesal.

Setelah mendapat kabar dari sepupunya, ia segera mencari tiket pesawat sore itu. Bahkan ia tak membawa barang bawaan apapun selain surat penting, hp, dan beberapa uangnya.

Lily memejamkan mata, membuat air luka itu semakin mengalir deras.

Beberapa menit kemudian, pesawat yang ia tumpangi telah mendarat. Dengan terburu ia segera turun dan mencari taksi.

Setelah mendapat taksi, segera taksi itu melaju menuju rumahnya.

Perlahan tangan Lily mendorong pintu rumah. Ramai. Tempat ini memang ramai tadi pagi.

Kini hanya ada sepupunya, keluarga sepupunya, Denira, dan beberapa anak pelatnas yang mengenalnya.

Dan juga.

Kevin.

Lelaki itu tengah berdiri diantara anak pelatnas lain.

Lily kembali memejamkan kedua mata. Menahan isakan yang ingin sekali ia lepas. Ingin sekali ia suarakan.

"Ly," panggil Anthony pelan.

Lily menubruk tubuh Anthony. Memeluk sepupunya ini begitu erat. Tangisnya pecah.

Semua ini begitu sakit. Hatinya tak bisa menerima, tak bisa melepas lebih ikhlas. Tak bisa lebih kuat.

"M--mamah, Nik..."

Tangis Lily semakin menjadi ketika Anthony perlahan mengusap kepalanya.

"Tante Dara udah tenang, Ly," ujar Anthony.

Mengapa ia harus kembali merasakan kehilangan setelah Tuhan mengambil satu dari sekian kecil kebahagiaannya?

Lily tak bisa melepaskan pelukannya dari Anthony.

Tangannya semakin erat meremat baju bagian belakang milik Anthony.

"Udah, Ly," ujar Anthony pelan.

"Hiks, m--mam, mamah udah nggak ada, Nik. Hiks," tangis Lily masih tak berhenti.

"Iya, Ly. Udahh," ujar Anthony.

Lily merasa semua terlalu cepat.

Lily menyandarkan kepala di bahu Anthony perlahan. Kepalanya terasa begitu berat.

Dan tiba-tiba saja, semuanya begitu gelap.

* * *

Kevin terdiam. Matanya sibuk menelisik perempuan yang baru saja membuka pintu rumah dengan berurai air mata.

Enough | Kevin SanjayaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang