MINI ARC : SHARKTAURANT 4

57 30 13
                                    

“Luar biasa?”

“Ya. Kau sangat hebat. Aku baru melihat seseorang layaknya pahlawan seperti Paman.”

“Jangan bercanda. Dinilai dari segi manapun jelas-jelas aku adalah seorang pembantai dan pembunuh.”

“Mungkin ini terdengar aneh. Ini pertama kaliku merasa senang melihat Paman membantai semua agen-agen itu. Itu membuatku ketagihan melihat Paman untuk melakukannya sekali lagi, ah bukan, tapi berkali-kali lagi.”

“Apa yang terjadi pada bocah sepertimu? Bagaimana bisa kau merasa takjub akan pertontonan yang penuh dengan kekerasan?”

Bocah itu meletakkan tangan kirinya ke dada dan mencengkeram bajunya kencang-kencang. “Karena aku ingin melihat sekumpulan orang-orang jahat merasakan kesakitan ... seperti apa yang telah mereka lakukan pada kami,” ucapnya dengan penuh seringai tajam.

Seketika kini bocah tersebut menundukkan kepalanya menghadap lantai. Aku sedikit mendengarkan bahwa dia menggumamkan sesuatu. “Sekali-kali mereka harus merasakan kesakitan yang sama seperti kami rasakan,” gumamnya mengalirkan banyak air mata.

Air mata tersebut bertemu menjadi satu di titik dagu. Matanya terbelalak saat aku menangkap air matanya yang jatuh.

“Jangan buang-buang air matamu secara sia-sia dong,” kataku dengan posisi tubuh yang setengah berjongkok.

“Aku ... aku bocah kecil tak berguna, aku sama sekali tidak bergerak saat Ibuku ditembak mati oleh Si Iblis Kurcaci itu.”

Mendengar itu aku langsung mendekap tubuhnya. Aku sedikit membisikkan sesuatu pada telinganya, “Kau anak yang kuat, Nak! Percayalah!”

Pada saat itu dia menangis dengan sejadi-jadinya, mencurahkan semua perasaan sesaknya yang selama ini dia pendam. Selama hidupku aku tidak pernah merasakan apa yang dia rasakan, tapi walaupun begitu aku merasakan getaran sesuatu saat aku mendekapnya. Getaran sesuatu yang di mana jiwanya meronta untuk mengetuk pintu hatiku untuk turut memahami akan kesakitan yang dia alami.

Aku tidak mengira pada sore itu aku disaksikan oleh 9 pekerja tambang dan 10 agen yang berdiri dengan raut peduli di balik dinding kaca. Kurasa ini adalah pemandangan langka, di mana aku menjadi sosok yang ditakuti karena kebrutalanku berubah menjadi sebaliknya.

“Untuk menjadi hebat kau harus sebutkan siapa namamu, Nak?”

“Namaku ... Cutlass Lysander.”

Kepada Hellios aku memahami soal kekuatan, besar kecilnya lawan bukan ukuran kemenangan melainkan rasa kesemangatan dan keberanian jiwa.

Kepada Cristofer Quintero aku memahami soal amanah, tidak peduli buruk dan lusuhnya barang, jika memang itu dinilai memiliki arti bagi pemiliknya maka patut dijaga.

Dan begitupun kepada Cutlass Lysander aku memahami soal perasaan, ketidakberdayaan fisik, trauma dan rapuh karena disakiti terus-menerus tidak menghalangi hati dan niatnya untuk tetap maju dan berdiri kokoh.

Ini pertama kaliku memahami arti dan perasaan orang lain selain mereka berdua, Hellios dan Cristofer.

______________________________________

Kami kembali mengisi meja makan. 5 porsi piring besar cukup untuk 20 orang. Semuanya makan dengan sangat lahapnya. Aku duduk bersebelahan dengan Cutlass. Saat kusadari sewaktu mendekapnya, aku menemukan beberapa luka lebam di sebelah leher dan sisi atas pundaknya, aku tidak tahu siapa pelaku dan alasan apa mengapa tangan-tangan yang jahat itu berani melakukan kekerasan pada anak di bawah umur.

HELL BELL 'GOLD' [COMPLETED]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang