8. Kontrak Gesya.

232 70 7
                                    

"Orang tua melarang bukan karena tidak sayang, tapi mereka ingin anaknya tidak patah hati."

^^^^^^

Zesya menyerengitkan dahinya. Tubuhnya seperti terombang-ambimg dengan suara gaduh yang memekakkan telinga. Dengan kesadaran yang hanya ada beberapa persen, Zesya menutup kedua telinganya. Berusaha mengabaikan tubuhnya yang terpelanting sana-sini.

"KAK GESYA GOBLOK! Aku mau tidur," sentak Zesya langsung ngegas. Ia menatap Gesya yang berdiri di atas ranjang bagian kiri dengan ganas. Suara radio yang mengalunkan beathbox semakin membuatnya geram. "Keluar sana."

Gesya turun dari ranjang mematikan musiknya dengan cengiran khas. Ia meninju angin dengan kuatnya, lalu berseru keras. "Semangat! Ayok bangun dong Zesya. Pagi ini kamu mau lihat pengumuman, kan, Ayah sama Bunda udah nunggu di luar."

Tubuh Zesya seketika menjadi panas dingin, ia dengan jantung yang berdegup kencang melangkah ke arah kamar mandi. Hari ini ketentuannya ia akan bersekolah di Amerika atau tidak.

Beberapa saat kemudian Zesya keluar dengan kemeja putih panjang serta rok levis di bawah lutut. Lalu menenteng laptopnya ke luar kamar yang langsung berhubung dengan ruang keluarga.

Ia duduk di tengah-tengah keluarganya. Dengan persaan cemas Zesya mencari namanya di kolom mahasiswi yang di terima beasiswa. Tetapi nihil namanya tidak muncul sedetik pun di layar laptop, dengan jantung yang berdegup kencang Zesya kembali menekan namanya di kolom mahasiswi yang tidak keterima.

Zesya Kanaya.

Mata Zesya yang sejak tadi memanas kini meluruh air mata, dadanya yang sesak akan perasaan kecewa jauh lebih menyakitkan dari yang kemarin ia rasakan. Zesya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tangisannya benar-benar pecah. Mimpi yang ia susun dengan demikian rupa sudah kandas.

Adit hanya mampu mengelus punggung puterinya. Lidahnya juga keluh, bukan karena kecewa tapi tidak kuasa melihat Zesya yang menangis histeris. Puterinya itu jarang sekali menangis, ia jarang menunjukkan kelemahannya di depan semua orang.

"Nggak apa-apa, sekolah nggak cuma di Amerika doang yang bagus. Mungkin bukan rezeki kamu," nasihat Amira dengan penuh kelembutan. Ia menyaksikan sendiri bagaimana kerasnya Zesya berusaha mengejar cita-citanya itu.

"Bener kata ayah, jangan sedih yang penting kamu udah berusaha," imbuh Gesya ikut menenangkan. Zesya mengangkat kepalanya, menatap seluruh anggota keluarga dengan sedih.

"Aku sama sekali gak berusaha kemarin, mimpi aku hancur karena ulah aku sendiri. Aku benar-benar nggak bisa fokus kemarin karena sedih, Kevin, pacar aku dia khinatin aku, karena aku jelek. Disini aku yang salah," terang Zesya kembali menangis kencang.

Faeza yang sejak tadi tidak bersuara ikut menambahkan. "Sudah aku duga. Semuanya karena cowok brengsek itu. Dia udah bikin Kak Zesya nangis dan sedih. Luka yang aku beri untuk dia nggak sebanding untuk Kevin Atmaja."

Semuanya seketika menatap Faeza dan Zesya bergantian. Mereka masih belum mengerti.

"Ada yang bisa jelasin?" Adit bersuara dalam keadaan hening. Tidak ada yang menyahut selain isakan tangis kecewa Zesya. Sesuatu yang benar-benar ia harapkan seketika tandas.

Zesya membuka matanya. Ia menatap penuh penyesalan ke arah Adit dan Amira. "Maafin aku Bunda, Ayah. Seharusnya aku dengerin kalian untuk nggak pacaran. Jadinya gini... Aku gak fokus karena masalah hati. Maafin aku."

I'm Not PaparazziTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang