44. I Can Believe.

113 31 74
                                    

"Tuhan itu adil, memberi porsi pada hambanya dengan rasa sakit yang sama. Namun, dengan cara yang berbeda."

Hari itu, merupakan kelulusan SMA Pradipta yang begitu meriah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Hari itu, merupakan kelulusan SMA Pradipta yang begitu meriah. Tentu saja merupakan hari bersejarah untuk Zesya karena ia berhasil lulus dengan nilai terbaik seangkatannya. Membungkam semua orang yang selalu mengejek fisiknya dan yang terpenting membuat orang tuanya bangga. Walaupun, bersekolah disini hanya karena beasiswa, Zesya sudah bangga. Tidak sia-sia rasanya ia bertahan selama tiga tahun dengan berbagai hujatan yang ditujukan padanya. Bagaimana tidak dijadikan sasaran, Zesya itu miskin, jelek, gendut, dan jago berkelahi. Kelakuannya juga aneh menurut yang lain. Di sekolah bergengsi dan internasional seperti ini tentu saja Zesya memiliki banyak musuh, bukan banyak lagi, tapi satu sekolah adalah musuhnya. Valid no debat!

"Selamat sayang, bunda bangga sama kamu!" Zesya menghampiri kedua orang tuanya setelah mengambil penghargaan yang diberikan padanya.

Tentu saja, Zesya tidak memiliki seorang teman, setiap hari dibully, setiap hari dihina, dan setiap hari dijatuhkan. Bagi Zesya semua itu merupakan makanannya semasa sekolah menengah atas.

"Makasih, bunda. Ini juga karena doa bunda dan ayah. Coba enggak, Zesya pasti masih ngebadut sama UFO." Mata Zesya memancarkan kebahagiaan yang tidak tertandingi.

"Ish, ngelucu aja terus, kamu pikir ini lawak." Adit memeluk erat putri keduanya dengan penuh kasih sayang. Ia rela meninggalkan pekerjaan paruh waktunya untuk menghadiri acara kelulusan putrinya.

"Temu lawak kali ah!" ujar Amira semakin membuat suasana semakin hidup. "Setelah ini kamu pasti mau ngadain acara sama temen-temen kamu kan? Kalau gitu bunda sama ayah pulang dulu. Kamu tuh jarang banget main sama temen."

Zesya cengengesan mengangguk, ia melepaskan pelukannya dari Adit. Berbohong, dulu memang bukan kebiasaannya, tetapi membuat orang tuanya senang adalah kewajibannya. Berbohong memang tidak benar, tetapi Zesya tak rela menghapus rasa senyuman itu dari kedua orang tuanya.

Saat dulu beberapa teman SMA-nya datang ke rumah, Amira begitu bahagia, membuat makanan dengan bahan masakan yang tersedia di kulkas karena Zesya memang jarang dikunjungi oleh temannya. Sejak itu, saat ditanya oleh Amira masalah teman, Zesya berbohong bahwa ia memiliki banyak teman. Teman yang baik, teman yang perhatian padanya, dan sebagainya, tetapi kenyataannya Zesya seorang diri tanpa teman.

Karena pada waktu itu, teman yang mengunjunginya hanya ingin Zesya kembali disakiti begitu dalam.

"Dadah ... Bunda dan ayah. Hati-hati di jalan, jangan belok ke semak-semak yah. Cukup satu adik laknat aja yang ada di rumah, jangan nambah. Kasian bunda udah tua!" Secepat kilat Zesya berlari saat Amira akan melemparkannya pengaman kepala.

Zesya melangkah ke arah kelasnya dengan senyum terus mengembang, tentu saja sendirian. Dirinya tidak punya teman, apalagi sahabat. Jangan harap! Hari ini tidak dibully aja ia syukur.

I'm Not PaparazziTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang