Author's pov
Di sebuah ruangan kerja pemilik mansion, dua perempuan tampak gugup dan gelisah. Keduanya duduk di sofa bulu yang sangat lembut dan hangat, di meja sudah disediakan berbagai macam makanan manis dan 4 cangkir teh yang sudah terisi. Penyambutan hangat dari keluarga Alfarizi tidak juga membuat mereka tenang.
"Seharusnya kita memikirkan ini dua kali rencana itu." Sinta terlihat tidak bersemangat.
"Tapi semuanya sudah terlambat. Percuma memikirkan hal itu, lebih baik sekarang kita pikirkan saja bagaimana nasib kita setelah ini." Sinta menghela napas panjang dan mengangguk saja.
Bagaimana mereka bersama?
Bukankah mereka bertengkar?
Tidak!
Tentu saja mereka tidak bertengkar, namun perdebatan mereka di kamar mandi adalah betulan. Sinta benar-benar ingin memarahi Fira saat dengan mudahnya putri satu-satunya Maya itu menceritakan betapa senangnya dia menghabiskan waktu dengan kedua kakak kembarnya.
Belum sempat ia mengatakan sesuatu, tiba-tiba saja Felly keluar dari kamar mandi. Keterkejutan Sinta itu nyata, bukan rekayasa. Terutama saat Felly mengatakan kebenaran tentang kesengajaannya memasukkan botol vodka di totebag yang diberikannya pada Canny.
Sinta akui, Felly benar-benar gila.
"Kenapa kau memandangku seperti itu? Kau marah padaku karena kejadian tadi pagi? Karena aku bertindak di luar kesepakatan kita?"
Sinta mengerjap-ngerjap menatap Felly dan menggeleng. "Tidak, aku tidak marah denganmu. Aku hanya tidak mengerti, kenapa kau membahayakan dirimu sendiri?"
Felly tersenyum menatap sahabatnya, "Aku tidak membahayakan diriku sendiri, Sinta. Mana berani dia denganku?" Sinta hanya tersenyum. Tapi jika dipikir-pikir benar juga, tidak akan ada orang yang berani melawan Felly di kampus bahkan para dosen sekalipun. Bahkan Felly tidak takut pada kedua orangtuanya.
Satu-satunya orang yang ditakuti Felly adalah Alvin, dan Sinta baru mengetahuinya kemarin.
"Bisa saja, Fira sudah berubah. Dia bukan lagi Fira yang lemah." Felly menatap Sinta dengan satu alis terangkat. "Tadi dia membela dirinya di depan Dila, Rani dan Salsa."
"Benarkah?"
"Sepertinya kita membesarkan rubah kecil, bukan kelinci kecil."
Sreeek
Suara pintu bergeser menghentikan percakapan dua perempuan seumuran Canny itu. Mereka kembali duduk tegak dan memandang dua orang yang masuk. Keduanya terkejut melihat ayah Canny yang melebarkan senyuman, begitu juga dengan mama Canny yang memandang Sinta dan Felly ramah.
Mereka bangkit dan langsung menyalami kedua orangtua sahabat mereka, tak lupa mencium tangan keduanya. "Maaf membuat kalian menunggu lama." Sepasang suami istri itu duduk di sofa tepat di hadapan Sinta dan Felly.
"Santai saja, tidak perlu tegang begitu. Kami hanya ingin mengobrol, tidak mengadili atau membuat kesepakatan seperti Alvin." Dengan santainya Azril menyesap teh yang sudah disediakan.
Mendengar nama Alvin, tubuh kedua perempuan itu panas dingin. Keduanya tentu mengingat aura dingin dan menyeramkan saat berhadapan dengan pemimpin Aryesguard itu.
"Benar. Kami tidak akan memarahi kalian." Ralia tersenyum lembut menatap keduanya.
"Maksud Om memanggil kalian kemari sebelum menemui Canny, Om ingin bertanya beberapa hal pada kalian."
"Silahkan, Om."
"Apa kalian menjadi pecandu minuman keras?" Felly dan Sinta spontan menggeleng.
"Tidak, Om. Saya hanya meminumnya saat dalam masalah besar saja." Azril mengangguk mendengar jawaban Felly.
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND LOVE : Perfect Incitement
ChickLitSEKUEL KETIGA "SECOND LOVE". ADA BAIKNYA BACA "SEPARUH NYAWA" DAN "THE LAST MESSAGE" TERLEBIH DAHULU. "Jadi semua yang dikatakan Felly itu benar? Fira tidak pernah menyayangiku sebagai sahabat ataupun saudara?" . . . . . . . "Kau benar, Sinta. Aku...