Fira’s pov
Aku keluar dari ruangan Tama dan berkeliling mencari Canny dan Tara karena Tama harus segera menyelesaikan pekerjaannya jika ingin pulang cepat. Mengingat posisinya di kedai ini sebagai wakil direktur membuatku bersyukur.
Semua ini tak mungkin terjadi tanpa bantuan Tante Ralia. Beliaulah yang mempercayakan Tama menggantikan posisi Bu Ajeng yang sudah pensiun. Awalnya Tama berniat mengundurkan diri setelah lulus dan hendak melanjutkan S2 di Malang, namun Tante Ralia menolaknya. Beliau malah menaikkan jabatan Tama menjadi ketua. Aku tidak tahu bagaimana membalas kebaikan Tante Ralia yang sudah ku anggap seperti ibuku sendiri.
Kambali ke Canny, sebenarnya ku tidak enak dengan Canny yang pastinya marah denganku dan Tama. Kami berdua terlalu larut dalam suasana hingga tidak menyadari ada hati yang harus kami jaga. Sekalian saja aku minta maaf dengan Canny atas kejadian tadi.
Tapi dimana ya mereka berdua?
Suara teriakan Tara membuatku menoleh, ternyata dia ada di tempat bermain. Dengan senang aku berjalan ke arah putraku itu.
“Yeaaayy!!!” suara seseorang membuat langkahku terhenti. Aku melihat orang yang tak pernah lagi ku lihat selama hampir 8 tahun lamanya.
“Tara senang bermain seluncuran? Ya senang?” senyuman lebar itu terlihat jelas, ia sedang mengangkat Tara ke udara dan itu membuat putraku tertawa.
Dia.. sudah kembali?
“Fira?” Aku mengerjap beberapa kali saat melihat tangan Canny melambai di wajahku.
“Hmm?”
“Kau tidak apa? Felly hanya bermain dengan Tara, lihatlah aku mengawasi mereka.” Aku menatap Canny yang tampak gugup.
Sejujurnya aku sangat takut jika Felly mencelakai Tara, tapi aku tidak boleh su’udzon.
“Pesawat terbaaang!!” Felly berputar dengan Tara di kedua tangannya. Sungguh, aku sangat takut sekarang.
“Biar aku bawa Tara kemari.” Canny berbalik dan hendak melangkah menuju tempat bermain. Aku memegang tangannya membuat langkahnya terhenti.
“Tidak, Canny. Biarkan saja mereka bermain.”
“Fira, jika kau tidak nyaman tidak masalah.”
“Biarkan saja.” Aku memandang Felly yang sekarang memeluk Tara, mereka berdua tertawa entah menertawakan apa.
Beberapa saat kemudian Tara melihatku, senyuman mengembang di bibirnya. “Daaa!!!” Felly menurunkan Tara, putraku itu berlari ke arahku. Felly berjalan ke arah kami dengan senyuman terukir di wajahnya.
Tunggu.
Senyuman?
“Hai, Fira. Apa kabar?” Aku memandang Canny yang tersenyum ke arahku dan mengangguk.
#
Aku dan Felly berada di bangku yang tak jauh dari tempat bermain. Jantungku berdetak sangat cepat dan aku tidak berani memandang kedua mata Felly yang masih sama seperti dulu. “Kau masih takut denganku?” aku memandangnya yang juga memandangku, hal yang mengejutkanku adalah senyuman yang terukir di bibirnya.
“Tidak masalah, aku memang sudah keterlaluan padamu. Aku minta maaf atas semua yang ku lakukan padamu. Aku bahkan tidak pantas mendapatkan maafmu karena itu dan mungkin kau tidak akan percaya padaku lagi.” Felly menunduk dan memainkan jarinya.
“Kau masih membenciku?” Felly mendongak dan menatapku. Ia mengerjap beberapa kali dan menggeleng.
Bisakah aku mempercayainya setelah apa yang selama ini ia lakukan padaku?
KAMU SEDANG MEMBACA
SECOND LOVE : Perfect Incitement
ChickLitSEKUEL KETIGA "SECOND LOVE". ADA BAIKNYA BACA "SEPARUH NYAWA" DAN "THE LAST MESSAGE" TERLEBIH DAHULU. "Jadi semua yang dikatakan Felly itu benar? Fira tidak pernah menyayangiku sebagai sahabat ataupun saudara?" . . . . . . . "Kau benar, Sinta. Aku...