14. True, Isn't?

265 40 27
                                    

Author’s pov

-Al Fazza University-

Felly yang sedang mencuci tangan di toilet tak jauh dari kelasnya mendongak. Ia menatap wajahnya di cermin dan tersenyum puas membayangkan rencananya kali ini akan berhasil. Semuanya akan mudah, ia bisa mengendalikan semuanya karena akan terjadi di rumahnya.

Brak

Salah satu pintu kamar mandi terbuka dengan kasar. Seorang perempuan keluar dari sana dengan wajah penuh amarah. Tatapannya tajam seolah siap menguliti seseorang di hadapannya hidup-hidup. “Felly kau gila!” tubuhnya terhuyung ke belakang saat tiba-tiba seseorang mendorong tubuhnya.

“Ck, santai saja Sinta. Jangan mendorongku begitu!” Felly menatap kesal sahabatnya itu. Tentu saja ia kesal, bayangan keberhasilan rencananya harus hancur begitu saja karena teriakan tidak penting Sinta.

“Bisa kau jelaskan sebenarnya apa rencana yang ada di otakmu itu? Kau selalu saja membuatku seperti orang bodoh!” Sinta menjerit saking kesalnya.

“Jangan berteriak, Sinta. Kau akan membuat banyak orang mendengar pembicaraan kita.”

Sinta melipat bibirnya, tatapannya melembut sekarang. “Sekarang katakan.”

“Kau yakin tidak akan meneriakiku setelah mendengar rencanaku?” Sinta mengangguk walau ia tidak yakin. Felly tersenyum, ia mendekat ke arah Sinta dan membisikkan sesuatu di telinganya. Mata Sinta membulat sempurna mendengar kata demi kata yang dibisikkan Felly di telinganya. Ia mencerna dengan baik memastikan pendengarannya tidak bermasalah.

“Apa kau yakin? Felly ini sangat berbahaya, jika kita salah langkah resiko yang kita tanggung lebih besar. Kau tidak lupa kan siapa kedua orangtua Canny?”

“Aku tahu. Baiklah, jika kau tidak suka ide ini kau punya ide lain?” Sinta menggeleng membuat Felly menghela napas panjang. “Kita lakukan saja dulu rencana ini. Aku yakin tingkat keberhasilannya 100%.”

“Iya. Aku setuju. Tapi, kita harus saling melindungi.” Felly tersenyum dan mengangguk.

“Tentu saja, Sinta. Aku akan melindungimu dengan nyawaku sekalipun.” Sinta tersenyum juga, ia memeluk sahabat terbaiknya itu erat-erat.

“Ya, aku tahu. Kau tidak akan pernah menghianatiku. Jadi seperti kesepakatan, aku dengan Fira dan kau dengan Canny. Kali ini kita tidak boleh gagal, Felly.” Felly mengangguk.

#

Canny’s pov
10:00 WIB

Aku memandang Faris yang memakan siomaynya dengan tenang. Kami berdua sedang berada di foodcourt dekat kampus untuk mengisi perut. Lebih tepatnya Faris, aku hanya memesan ocha tanpa gula.

Setelah drama marahan setelah pengumuman perjodohan, kami menyempatkan diri bertemu. Lebih tepatnya aku yang meneleponnya untuk menemuiku setelah jam kuliahku selesai. “Kau masih memikirkan perjodohan kita?” aku menatap datar Faris yang tersenyum jahil.

“Tidak, kenapa aku harus memikirkan itu?”

“Bukannya kau tidak mau jauh dariku? Itulah alasan kenapa kau mendiamkanku satu hari penuh. Itu keterlaluan, Cherry.”

Aku mengerjap-ngerjap saat mendengar panggilan yang tak pernah ku dengar semenjak kami resmi menjadi sepasang kekasih. “Jangan terlalu percaya diri, Tuan Fahriza.”

“Aku bicara kenyataan, Nona Alfarizi. Terserah jika kau tidak mau mengakuinya, aku sudah tahu dari tingkahmu dan caramu menatapku.” Oh, aku lupa jika Faris mengambil program studi Psikologi Islam.

SECOND LOVE : Perfect IncitementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang