51. Terakhir

820 62 63
                                    

Hello Everyone!
Chapter ini bakal jadi akhir dari “Perfect Incitement”, semoga suka ya. Maklumin aja jika akhir dari cerita ini tidak sesuai dengan ekpektasi. Aku bener-bener bingung dan ga ada ide. Maaf juga jika terkesan ga masuk akal, harusnya emang aku belajar atau kalo ga browsing dulu.
Tapi aku males.
Lagi males belajar. Jadi ya, tolong diterima ya.
Thank you.

NISA

#

Satu Minggu Kemudian

Canny’s pov

Aku menatap kedua kakiku yang sudah tidak terpasang gips. Seminggu ini aku belajar duduk dan memegang sesuatu dengan tangan kananku. Sekarang sepertinya mulai melatih kedua kakiku. “Sekarang coba di gerakkan.” Aku mencoba menggerakkan kakiku sesuai dengan apa yang dokter Imran katakan. Spontan aku meringis saat merasakan ngilu. Aku melihat Mama, Daddy, dan Faris yang fokus menatap kedua kakiku.

“Apakah terasa sakit?”

“Sedikit.”

“Sekarang coba berdiri.” Aku menghela napas berulang kali dan mencoba berdiri, aku benar-benar harus menahan rasa sakit di kedua kakiku sekarang. Tangan kiriku berpegangan ke headboard.

“Princess, jangan terlalu memaksa jika sakit.” Daddy memegangiku dan menuntunku kembali duduk.

“Untuk sementara lebih baik Canberra memakai kursi roda. Terapi akan dilaksanakan satu minggu sekali agar segera pulih. Jangan lupa perbanyak makan makanan bergizi dan minum obatnya secara rutin.” Dokter Imran menuliskan resep dan diberikannya pada Mama.

“Iya, Dokter.” Mama menerimanya.

“Kalau begitu saya permisi. Cepat sembuh, Canny.”

“Terimakasih, Dokter. Sampaikan salam Canny pada Mbak Fian ya. Sampaikan juga permintaan maaf Canny belum bisa mengunjungi Mbak Fian dan suaminya di pondok.” Dokter Imran tersenyum dan menggusak rambutku.

“Ya, pasti.” katanya sebelum pergi meninggalkan kamar bersama Daddy.

“Masih pusing?” aku menggeleng menjawab pertanyaan Faris.

“Mama keluar sebentar sayang.” Mama mengelus rambutku dan mencium keningku sebelum melangkah keluar dari kamarku.
Sekarang hanya ada aku dan Faris di kamar. Sebenarnya aku cukup terkejut Mama dan Daddy membiarkan kami berdua saja di kamar.

“Kau memikirkan sesuatu?” Aku menerima apel dari Faris.

“Tidak ada. Eh, bukannya hari ini Fira juga terapi? Bagaimana hasilnya?” Faris menggeleng.

“Tama belum memberitahuku, semoga hasilnya lebih bagus.” Aku mengangguk saja karena mulutku penuh dengan apel.
“Tangan kananmu tidak sakit? Apel ini terlalu berat, seharusnya aku memotongnya dulu.”

“Tidak. tidak. Tanganku baik-baik saja, lihatlah!” Faris membelalakkan matanya saat aku memutar pergelangan tanganku.

“Hei hentikan! Baiklah, tanganmu sudah tidak sakit.” Aku tersenyum lebar melihat Faris menatapku khawatir. Aku heran, sejak aku bangun hingga sekarang tatapannya seperti itu.

“Aku baik-baik saja, Faris. Berhenti khawatir.” Faris tidak menjawabku, dia hanya memandangku lekat-lekat. “Kenapa?”

“Dokter Imran bilang kemungkinan besar kau mengalami trauma mengendarai mobil. Bagaimana kau pergi ke rumah sakit akhir pekan ini?” Ah iya, aku bahkan tidak memikirkan itu.

SECOND LOVE : Perfect IncitementTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang