Lara membalikkan badannya mendengar suara berat tadi. Dapat dirinya lihat, laki-laki semalam yang menolongnya sudah berdiri dengan mata tajam setajam pisau.
"Kenapa kamu awasi Lara?!" tanya Lara sedikit berteriak.
Laki-laki didepannya tidak menjawab, melainkan maju perlahan menuju Lara yang sudah melangkah mundur.
"Pergi! Jangan kesini!" teriak Lara sudah meneteskan air matanya.
Laki-laki itu terus berjalan dengan tenang hingga kini sudah tepat berada di depan tubuh gadisnya. Tangannya terulur menghapus air mata yang jatuh di pipi Lara.
"Don't cry, hmm."
"Kamu siapa? Lara nggak kenal! Kenapa kamu punya foto Lara?!" teriak Lara sedikit memekakkan telinga.
"Bara, Bara Xavier."
Lara semakin takut ketika tangan laki-laki didepannya itu menarik pinggangnya untuk mendekat.
"Jauh! Pergi! hiks..."
"Tidak akan," gumamnya pelan lalu memeluk erat tubuh mungil Lara. Dirinya menghirup dalam-dalam aroma wangi Lara setelah mandi.
"Gila! Dasar gila!"
"Shut up, baby. Jangan membuat ku marah, hmm. Aku hanya ingin memelukmu."
"Nggak mau, lepasin Lara! Lepasin Lara," lirih Lara terus memberontak dengan tangis yang semakin menjadi-jadi.
"Never," jawabnya lalu mengecup pipi Lara singkat.
Lara berdecih jijik, dan terus menggeleng. Air matanya terus saja keluar meminta iba untuk di lepaskan. Matanya yang sembab berkaca-kaca menatap manik mata hitam legam nan tajam di depannya.
"Lepasin Lara," lirihnya amat pelan.
Bukannya iba, laki-laki di depannya itu malah terkekeh geli dengan suara menakutkan.
"Kenapa kau sangat menggemaskan, hmm?" katanya kembali mengecup basah pipi Lara tapi kali ini juga ia gigit hingga sang empu mengaduh kesakitan.
"Ah! Sakit! Sakit! hiks..."
"Lepas! Dasar gila! Psikopat! Jauh! hiks..."
"Yah, i am a psychopath," jawabnya santai setelah menjauhkan bibirnya dari pipi bulat gadisnya.
"Dan aku sudah bertemu dengan gadisku. And she is now in front of me."¹