Hari semakin siang, matahari mulai naik. Begitu pula dengan bel masuk sekolah yang sebentar lagi akan berbunyi, pertanda waktu kegiatan belajar-mengajar akan segera di mulai.
Sinta berjalan dikoridor kelas dengan tergesa-gesa. Banyak yang melihatnya jijik seakan-akan Sinta adalah kuman.
“Eh, ratu jerawat datang.”
“Jerawatnya banyak banget.”
“Namanya juga ratu jerawat. Pasti jerawat nya banyak lah.”
Sinta tidak peduli. Ia mempercepat jalannya. Baginya hal seperti ini sudah biasa, seperti makanan sehari-hari.
Dari arah berlawanan, Rama dan ketiga sahabatnya berjalan dengan santai tanpa memedulikan bel masuk yang tinggal beberapa menit lagi berbunyi.
Siswa maupun siswi yang akan menuju ke kelasnya, memberhentikan langkanya dan memberi Rama dengan ketiga sahabatnya jalan.
Dari kejauhan, Sinta melihat beberapa siswa yang berjalan berlawanan arah dengannya. Ia tidak peduli, ia tetap melanjutkan langkahnya. Sinta berhenti berjalan ketika beberapa siswa itu tidak memberikan Sinta jalan.
Sinta menatap siswa yang ada dihadapannya, “Minggir!!”
Namun, siswa itu tidak menyingkir dari hadapan Sinta. Bahkan, siswa itu tidak bergerak sama sekali—seperti patung—dengan tangan yang dimasukkan ke dalam saku celana.
“Gue bilang, minggir!”
Sekarang, mereka sudah menjadi pusat perhatian. Seluruh pasang mata melihat ke arah mereka.
Rama—siswa itu—hanya diam, menunggu apa yang akan Sinta lakukan selanjutnya. Mengingat hanya Sinta yang berani dengan dirinya di sekolah ini.
Sudah habis kesabaran Sinta. “Gue bilang minggir, ya, minggir! Telinga lo masih berfungsi kan?” Sinta mendorong Rama dengan seluruh tenaga yang ia punya.
Walau tidak sampai jatuh. Tapi, dapat mendorong Rama hingga beberapa langkah. Melihat celah yang kosong, Sinta langsung menerobos hingga keluar dari sana.
Tanpa memedulikan tatapan orang-orang yang mengarah padanya, Sinta melanjutkan langkahnya. Ia berhenti berjalan ketika mendengar suara dari arah belakangnya.
“Berani banget lo sama gue. Gue akan pastikan, mulai detik ini, menit ini, dan seterusnya. Lo gak bakal tenang sekolah disini!”
Rama yang dari tadi diam, angkat bicara. Ia cukup terkejut dengan serangan tiba-tiba dari Sinta. Walau bukan apa-apa untuk dirinya. Tapi bagi perempuan, itu adalah hal yang luar biasa.
Sinta membalikkan badannya. “Gue gak takut dengan ancaman lo itu. Lagian cowok kok sukanya ngancem. Situ cowok atau.... banci?” Sinta melanjutkan perjalanan ke kelas yang tertunda.
Rama benar-benar marah. Tangannya mengepal untuk melampiaskan rasa marahnya. “Dasar, gadis jelek! Itu muka atau apa, ya? Jerawat kok ada dimana-mana.” teriaknya mengundang tawa dari siswa-siswi disekitarnya.
Teriakkan itu masih bisa didengar oleh Sinta. Tetapi, Sinta tetaplah Sinta, yang tidak peduli dengan omongan orang. Emang apa manfaatnya buat Sinta jika ia mendengarkan omongan orang tentang dirinya yang jelek atau banyak jerawatnya? Apa harus Sinta membeli sabun cuci muka, masker atau sejenisnya? Menurut Sinta, masa-masa remaja itu sedang masa pubertas—masa pertumbuhan. Jadi, mau kita memakai apapun dari produk yang berbeda. Hasilnya akan tetap sama, jerawat pasti akan muncul kembali. Tetapi setiap orang mempunyai pendapat sendiri bukan?
Sinta melanjutkan langkahnya bertepatan dengan bel masuk yang berbunyi. Tidak jauh dari sana, Amel melihatnya. Ia langsung mengejar Sinta yang sudah jauh dari pandangannya.
***
Sinta duduk di tempatnya. Amel yang baru saja sampai dikelas, menaruh tas di bangkunya dan menghampiri Sinta.
“Wah! Lo berani banget sama Rama.”
Sinta melihat siapa yang berbicara. Ia mengernyit bingung. “Rama?”
“Iya,” Amel duduk disamping Sinta. “Yang berantem sama lo, itu yang namanya Rama.”
“Oh.”
“Hanya ‘Oh’? Sinta, ini itu Rama. Dia gak bakal ngebebasin orang yang berani dengannya.” Amel kehabisan kata-kata untuk menjelaskan tentang Rama kepada Sinta.
“Gue udah biasa dengan yang namanya bullying. Gue udah biasa!”
“Bukan gitu maksud gue. Gue takut lo yang akan menjadi korban selanjutnya dari sifat playboy dia. Gue gak mau itu terjadi sama lo. Sinta, please!” Amel berharap agar Sinta tidak menjadi salah satu korban dari sifat playboy nya Rama. Hanya itu harapan Amel.
“Mel, dengerin gue. Gue gak cantik dan gue gak modis. Rama gak bakal suka sama gue. Apa yang perlu lo takutin? Gue gak bakal ke jebak dengan pesona Rama, gue ga percaya yang namanya cinta. Lo tenang aja, everything gonna be okay.”
“Gue tau. Tapi, tolong! Lo hindari Rama. Dia gak baik buat lo.”
“Iya, gue bakal berusaha ngehindar dari Rama.” kecuali takdir yang mempertemukan kita.
Sinta tersenyum, walau hanya sebentar.
Amel membalas senyum Sinta.
Bersambung...
Makasih buat kalian yang mau membaca ulang cerita ini, pokoknya terima kasih banget❤❤
Dibuat 171119
Pindah lapak 140920
KAMU SEDANG MEMBACA
The Ugly (END)
Teen FictionSinta Bella Puspita. Banyak orang yang mengenalnya karena kejelekkan wajahnya. Jerawat banyak bermuculan di sekitar wajahnya. Ia tidak terganggu dengan adanya jerawat di wajahnya. Cuek dan jutek. Kedua sifat tersebut merupakan sifatnya. Ia sangat cu...