Chapter 42

3.4K 254 1
                                    

Setelah sepulang sekolah Sinta sudah membuat janji dengan Alvaro untuk belajar. Sejak kejadian kemarin, dimana Rama yang meninggalkan dirinya begitu saja. Sinta berusaha keras untuk menghindari Rama.

Sinta dan Alvaro pergi ke cafe yang tidak jauh dari sekolah.

“Lo udah hapal, Al?” tanya Sinta sambil berjalan memasuki cafe.

“Lumayan.” jawab Alvaro.

Sinta mengangguk saja. Ia melihat suasana cafe yang cukup ramai, ia pun mengedarkan pandangannya di seluruh penjuru cafe. “Di sana aja, Al. Ayok.” ajak nya menarik tangan Alvaro.

Sinta dan Alvaro duduk tenang. Mereka mulai membuka buku dan mempelajarinya sambil menunggu pesanan mereka.

“Gue masih bingung dengan cara pengucapannya.” ungkap Sinta. “Dan ini ga kerasa cuma ngehitung hari lagi. Gue masih banyak yang belum ngerti.”

Alvaro melihat Sinta yang terus membaca buku. “Ga papa, pelan-pelan aja. Nanti juga lo pasti bisa.” hibur Alvaro.

Sinta tersenyum, menanggapi ucapan Alvaro. Sinta membaca bukunya kembali, dan mempeehatikan tulisan yang ada dibuku dengan teliti. “Al,” panggil Sinta.

Alvaro menoleh, “Iya?”

Sinta menunjukkan sebuah kalimat yang tidak di mengerti. “Ini bacanya gimana? Mirip sama kalimat yang ini?” Sinta menunjuk pada kalimat yang lain.

Alvaro melihat arah yang ditunjuk Sinta. “Beda, kalo yang ini lebih diteken nadanya. Paham ga?”

Sinta menganggukkan kepalanya.

o0o

Rama memandang dua orang yang sedang belajar bersama dengan tatapan tidak suka. Sejak dua orang itu masuk ke dalam cafe, fokus Rama teralihkan dan hanya tertuju kepada mereka.

“Habis ini jadi nonton kan, Ram?” tanya Valerine yang duduk didepannya.

“...”

Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut Rama, Rama terus menatap dua orang yang menjadi fokusnya sekarang.

Valerine menautkan alisnya, ia menengok ke belakang. Saat sudah tahu siapa yang dapat mengambil perhatian Rama, Valerine mengalihkan pandangannya.

“Rama.” panggil Valerine dengan menepuk tangan Rama yang ada di atas meja.

“Eh, iya?”

Valerine mengerucutkan bibirnya. “Ish daritadi gue ngomong, lo gak dengerin.” rajuknya.

“Maaf, tadi lo ngomong apa?”

“Jadi nonton kan?”

Rama mengangguk, “Mau sekarang?” tanya Rama.

“Boleh deh, lagian gue juga bosen dirumah.”

Rama dan Valerine keluar dari cafe setelah membayar pesanan mereka. Selama dua hari ini, mereka berdua menghabiskan waktu untuk mengelilingi kota dan mengunjungi tempat yang sudah lama tidak dikunjungi oleh Valerine.

o0o

Sinta sadar bahwa ada yang sedang memperhatikannya. Ia sudah melihat laki-laki itu sejak memasuki cafe, dirinya hanya berpura-pura tidak melihatnya.

Laki-laki memang tidak bisa dipegang omongannya, terlebih lagi jika laki-laki itu sejenis seperti Rama.

Sinta menggelengkan kepalanya, mengusir bayang-bayang Rama. Sejak kejadian kemarin pula, isi kepala Sinta hanya terisi oleh Rama, Rama, dan Rama.

Apalagi jika sedang mengingat kejadian kemarin, rasanya Sinta teringin untuk memukul laki-laki itu. Laki-laki yang omongannya tidak dapat dipegang.

Udahlah Sinta, kenapa lo mikirin cowok itu sih. Bukan lo banget sumpah, batin Sinta.

Sinta memijat kepalanya. Aktivitas Sinta tidak luput dari pandangan Alvaro yang ada didepannya.

“Kenapa? Ada yang lo kagak ngarti?” tanya Alvaro.

Sinta menatap Alvaro, lalu menggeleng. “Engga, ini kepala gue tiba-tiba pusing.” ujar Sinta beralasan.

“Mau pulang? Nanti bisa dilanjut lagi.” ucap Alvaro nampak jelas kekhawatiran di wajahnya.

“Engga usah.” tolak Sinta. “Ini dikit lagi, nanggung.”

“Bener?”

“Iya.”

“Kalo memang udah pusing banget, jangan dipaksa. Ntar malah jadi sakit.”

“Iya, Alvaro.”

Rasanya Sinta tidak enak karena telah berbohong kepada Alvaro.

Bersambung...

The Ugly (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang