Chapter 44

3.6K 254 8
                                    

“Duduk di sana yuk,”

Rama menganggukkan kepalanya, menyetujui ajakan Valerine.

“Habis ini lo mau ke mana lagi?” tanya Rama. Ia mengelap keringat dengan handuk kecil yang dibawanya.

Valerine melihat Rama dan tersenyum. “Hari ini gue mau dirumah aja, cape banget.” Valerine melihat-lihat sekitarnya. “Gue haus, gue beli minuman dulu. Lo mau?” tawar Valerine kepada Rama.

“Boleh deh.”

Setelah Valerine pergi, Rama melihat orang yang sedang berolahraga. Lari-lari kecil, senam, dan banyak lagi. Namun, mata Rama fokus kepada pohon besar di ujung taman. Penglihatan Rama semakin tajam, memastikan sesuatu.

Tangan nya terkepal menyaksikan perilaku seorang laki-laki dibawah sana dengan seorang gadis.

Anjing!

Saat melihat laki-laki itu pergi, Rama beranjak dari tempat duduknya. Ia berjalan mendekati pohon besar itu.

Setelah sampai, Rama langsung menarik tangan gadis itu.

“Eh?!”

Rama menatap tajam Sinta. Ia menarik tangan Sinta dan membawanya ke belakang pohon agar tidak menjadi pusat perhatian.

“Berapa kali gue harus bilang? Jangan deket sama cowok lain! Apalagi cowok itu!”

Sinta menepis tangan Rama yang masih mencekal pergelangan tangan Sinta. Sinta melipatkan tangannya di dada. “Bukan urusan lo!”

“Lo milik gue!”

Sinta tersenyum sinis. “Gue bukan barang! Bukan milik siapapun.” tekan nya.

“Lo milik gue, Sinta!”

Sinta terkekeh. “Udahlah, ngomong sama lo itu susah. Ga ada untungnya juga buat gue.” ujar Sinta.

Saat Sinta akan pergi, Rama langsung mendorong Sinta hingga punggunya membutuhkan pohon besar itu.

Sinta meringis, ia berusaha untuk pergi tapi tubuhnya di dorong oleh Rama kembali.

Rama mengurung Sinta dengan kedua tangannya, agar Sinta tidak berusaha kabur. “Sekali aja lo nurut sama gue.” pinta Rama.

“Lo mau apa?” tanya Sinta, sudah lelah dengan kelakuan Rama.

“Jangan dekat-dekat sama cowok lain!”

Sinta tersenyum sinis, “Lo itu egois tau ga?! Lo ngelarang gue buat jangan deket sama cowok lain. Tapi lo? Bebas buat deket sama cewek?” tanya Sinta menatap Rama. “Lo egois. Kita gak ada hubungan, gak usah ngatur hidup gue.”

“Tapi lo milik gue.” bantah Rama.

Sinta memutar bola matanya.

“Sinta, lo dimana?” Alvaro yang telah balik dari membeli minuman, tidak mendapati keberadaan Sinta dibawah pohon besar itu.

Sinta yang mendengarkan suara Alvaro, berusaha untuk keluar dari kurungan Rama. “Awas!!”

“Enggak.” tolak Rama.

Sinta mendorong badan Rama dengan kuat hingga membuat Rama mundur berapa langkah ke belakang. Tidak membuang kesempatan yang ada, Sinta langsung pergi dari sana.

Alvaro melihat Sinta yang keluar dari belakang pohon, mengernyitkan dahinya. “Ngapain lo di sana?” tanya Alvaro curiga. Ia memberikan botol minuman saat Sinta sudah berada di depannya.

Sinta mengangkat bahunya. Ia membuka tutup botol dan menenggak air yang ada di dalam botol. “Thanks ya,”

Alvaro tersenyum sebagai jawaban.

“Loh?” Alvaro melihat Rama yang juga muncul dari belakang pohon itu. Ia menengok ke arah Sinta yang juga sedang menatap ke arah Rama dengan tajam.

Rama mendekati mereka, dan langsung merangkul Sinta. Membuat Sinta langsung memukul tangan Rama yang sembarangan merangkul orang. “Sakit, Sin.” adunya.

Sinta mendelik. “Siapa lo?”

Sinta menatap Alvaro yang sejak tadi memperhatikan mereka berdua. “Balik, yuk, Al. Udah tambah siang juga, panas.”

Alvaro mengiyakan ajakan Sinta. Namun sebelum keduanya pulang, tangan Sinta ditahan oleh Rama.

“Lo balik sama gue!” perintah Rama tidak ingin ada penolakan.

Sinta mengangkat alisnya, “Kita kenal?” tanya Sinta, sinis.

“Rama.”

Sebelum Rama menjawab, Valerine lebih dulu mendekati mereka. Atau lebih tepatnya mendekati Rama.

Valerine tersenyum saat menyadari ada orang lain di sini. “Eh ada, Sinta juga?” tanya Valerine sedikit ragu dengan nama Sinta.

Sinta menjawab dengan gumaman tidak jelas. Sinta menatap Rama. “Bisa lepasin tangan gue.”

Rama menuruti omongan Sinta, ia melepaskan cekalan tangan yang menahan tangan Sinta.

Setelah tangannya dilepas, Sinta menggenggam tangan Alvaro. “Ayok, Al.” ajaknya.

“Sinta, tangannya!” Rama memberikan peringatan dengan emosi. Tetapi Sinta tidak mendengarnya, atau hanya pura-pura tidak dengar. “Sial!” umpatnya.

Valerine mengelus lengan Rama, “Gue lupa, gue mau beli jam tangan baru. Lo anterin gue beli jam tangan ya?”

Rama menatap Valerine, ia melepaskan tangan Valerine dengan lembut. “Hari ini gue ada janji sama Rian, lo bisa beli sendiri kan.” Rama hanya beralasan untuk menolak ajakan Valerine, dirinya sedang dalam keadaan emosi yang kapan saja bisa meluap.

Valerine mengangguk saja, tanpa di sadari oleh Rama tangan Valerine terkepal kuat. Menggenggam kantong kresek yang berisi minuman dengan kuat.

Bersambung...

The Ugly (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang