Chapter 10

8.4K 531 19
                                        

Hari minggu adalah hari yang paling para pelajar tunggu, karena bisa bersantai dan bermalas-malasan. Seperti Sinta, contohnya. Sinta hanya bermalas-malasan tanpa melakukan sesuatu. Ia hanya memakan cemilan sambil menonton televisi. Kebetulan hari ini, Sinta sedang kedatangan bulan, yang menjadikan rasa malas Sinta bergejolak. Ibu juga tidak marah, saat Sinta tidak membantunya membersihkan rumah. Ibu hanya memaklumi nya, karena beliau juga pernah merasakannya saat remaja.

Sinta mengalihkan pandangannya dari televisi ke handphone nya yang berada diatas meja. Sedaritadi handphone nya berbunyi. Sinta mengambil dan melihat siapa yang menelponnya.

“Gak ada namanya.” gumam Sinta.

Sinta menolak panggilan telepon tersebut. Ia menolaknya karena mungkin saja, salah sambung atau hanya orang jahil yang ingin mengerjainnya.

Handphonenya berdering kembali. Sinta menolak panggilan telepon itu lagi. Hingga beberapa kali. Akhirnya Sinta mengangkat panggilan telepon itu. Karena si penelpon yang tidak pernah berhenti menghubunginya.

Sinta mendekatkan handphone nya ke telinga. “Ha—”

Belum sempat Sinta mengucapkan kata halo. Si penelpon langsung marah-marah gak jelas.

“Lo lagi ngapain sih? Gue telepon dari tadi ga diangkat. Gue udah pernah bilang kan, kalo gue telpon itu langsung diangkat. Gak usah nunggu lama.”

Belum semapt Sinta menjawabnya, si penelpon langsung mengomeli Sinta kembali.

“Lo dengerin ga sih? Gunanya mulut buat apa, mulut lo masih berfungsi kan? Yaudah jawab, jangan diam aja.”

Sinta menghembuskan nafasnya. Ia berusaha sabar. Sinta tahu, si penelpon itu adalah Rama. Dari suaranya, Sinta sudah dapat menebaknya. “Udah?”

“Hah?”

“Lo udah selesai bicaranya? Gue gak ngangkat telpon dari lo juga punya alasan. Lagian mana gue tau, kalo yang nelpon itu lo.”

“Banyak alasan lo! Bilang aja gak mau ngangkat telpon dari gue. Sekarang, lo harus dateng ke rumah gue.”

“Gue gak mau dan gue juga gak tau rumah lo dimana. Udah deh, Ram, lo jangan gangguin gue mulu. Nanti pacar lo itu salah paham sama gue.” Sinta tidak bisa menjelaskannya kepada Rama.

“Kenapa harus salah paham? Gue sama lo itu cuma sebatas babu dan majikan. Gak usah banyak alasan! Gue bakal jemput lo sekarang.”

“Ram, Rama.” telpon diputus secara sepihak oleh Rama. Rama memang sangat keras kepala.

Sinta bosan, jika hanya menonton televisi. Ia mematikan televisi dan pergi menuju ke kamarnya untuk menonton drakon. Sinta tidak peduli dengan Rama yang katanya akan datang ke rumah Sinta. Sinta menganggap itu hanya sebatas omongan saja.

o0o

Rama memberhentikan motornya, didepan rumah sederhana tapi mempunyai halaman yang cukup luas. Menurut informasi yang didapat Rama, rumah itu adalah Rumah Sinta.

Rama melihat seorang perempuan paruh baya, yang sedang menyiksa tanaman. Rama menebak kalo perempuan paruh baya itu adalah Ibu dari Sinta. Dilihat dari wajahnya yang mempunyai sedikit kemiripan dengan Sinta.

Rama turun dari motornya, menghampiri perempuan paruh baya itu. Rama berdehem untuk menandakan jika ada seseorang yang datang.

Perempuan paruh baya itu menengok, dan mendekati Rama. “Cari siapa, ya?”

Rama berdehem, “Sinta.”

“Sinta?” ucapnya memastikan.

Rama mengangguk.

“Sinta ada di dalam.” Ibu membukakan pagar dan menyuruh Rama masuk.

Sembari berjalan memasuki rumah, Ibu bertanya. “Siapanya Sinta?”

“Temen, tan.” Mungkin.

Mereka sampai diruang tamu. Ibu berhenti berjalan. “Kamu duduk dulu, ya, Ibu panggilin Sinta sebentar.”

Rama mengangguk.

“Oh, ya, Ibu belum tau nama kamu.”

“Rama, tan.” Rama benar-benar canggung, ditambah lagi dengan sifat Ibu yang sangat ramah.

“Panggil Ibu aja. Kalo begitu, Ibu tinggal sebentar.”

“Iya, Bu.”

Rama duduk sembari melihat foto-foto Sinta yang ada di dinding. Ternyata sudah jelek dari kecil, batin Rama. Entah itu hanya bercanda atau kenyataannya.

“Ngapain lo di sini?”

Rama melihat siapa yang berbicara, ternyata itu Sinta. Sinta sekarang hanya menggunakan pakaian rumahan. Sinta nampak berbeda dengan Sinta saat di sekolah. Walau mukanya tetap sama. Jelek.

“Lo lupa? Gue udah bilang kan, gue mau ke sini. Sekarang lo siap-siap, ikut gue ke rumah.”

Sinta yang tadi sedang asik menonton drakor dikamar terganggu oleh kedatangan Ibu. Ibu memberitahu, jika Rama ada diruang tamu. Sinta kira ucapan Rama hanya sebuah omong kosong. Tapi ternyata Rama serius.

“Ngapain gue ke rumah lo segala?”

“Lo tinggal ngikut aja, udah lah sana lo siap-siap!”

Baru saja Sinta akan mengeluarkan protes, tapi sudah dipotong oleh Rama.

“Dan gak ada penolakkan.”

Sinta mengerucutkan bibirnya, kesal. Walau begitu, Sinta tetap pergi ke kamar nya untuk bersiap-siap.

Dari belakang, Ibu membawa segelas jus. Ibu menaruh jus di atas meja, depan Rama.

“Terima kasih, Bu.”

Ibu mengangguk.

“Loh? Sinta nya mana?” tanya Ibu ketika menyadari tidak ada Sinta di sana.

“Ke kamar,” Rama berdehem. “Ibu, nanti Rama bawa Sinta main. Boleh?” cicitnya pelan.

Ibu tersenyum, “Boleh, asalkan pulangnya jangan sampe larut malam.”

Rama mengangguk.

Sinta menghampiri Ibu dan Rama yang sedang asik mengobrol. “Yuk,”

“Yaudah, Bu. Sinta sama Rama pergi dulu.” Mereka berpamitan kepada Ibu.

Bersambung...

Oke, mau istirahat dulu. Nunggu lama lagi buat up, karena tugas aku numpuk tuh ga ke urus.

260120
041120

The Ugly (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang