4

348 56 3
                                    

"Oh, kenapa tidak terpikirkan olehku jika guci-guci ini dibuat oleh Raden Bakti," Kapten Frederik menyesali cara berpikirnya yang kurang "tangkas".

"Bukankah kita pernah ke rumahnya, Kapten. Dia memang pengrajin gerabah," asisten Kapten Frederik kembali mengingatkan.

"Ya, tetapi pembuat gerabah di sekitar Batavia bukan hanya dia."

"Ya, saya kira juga begitu."

Kapten Frederik tersenyum simpul mendengar laporan anak buahnya itu. Senyuman itu mengandung banyak makna. Apalagi yang dipikirkan atasanku? Begitulah, Asisten Frederik bertanya-tanya dalam hati.

Sayang, senyuman Kapten Frederik tidak berlangsung lama. Seorang pria berseragam tentara lengkap menghampiri mereka berdua dengan berkuda. Dari wajahnya nampak membawa kecemasan.

"Lapor, Kapten ... ada sesuatu di sungai ...," dia turun dari kuda dengan tergesa.

"Apa itu?"

"Sebaiknya Kapten lihat sendiri, orang sudah berkerumun. Kami kewalahan mengatur mereka," si pelapor menginginkan bantuan.

"Baiklah, aku ke sana. Kamu panggil yang lain untuk menyusul."

Si pelapor paham harus melakukan apa, dia berjalan beberapa langkah untuk membuka tali kekang seekor kuda. Kuda milik Kapten Frederik. Berkulit kecokelatan serta bertubuh tinggi semampai.

Dengan lentera ditangan, mereka berdua berkuda menuju sungai di pinggiran Ibu Kota. Tempatnya tidak jauh dari kediaman Kapten Frederik. Mereka bisa sampai di pinggir sungai dalam waktu beberapa saat saja.

"Hei ... minggir! Ada apa ini?" Kapten Frederik membentak warga yang sedang berkerumun malam itu.

"Tuan, di sungai sana ...."

Kapten Frederik turun dari kuda dan berjalan ke sisi sungai. Warga yang sedang berkerumun memberikan jalan pada para tentara yang ingin memeriksa.

Mata Frederik menyiratkan keheranan pada pemandangan di depannya. Untuk memperjelas, dia raih lentera ditangan anak buahnya. Lentera itu memperjelas situasi di atas air sungai. Sungai saat itu sedikit lebih jernih karena pengaruh musim kemarau. Sehingga mata bisa melihat hingga beberapa jengkal ke kedalaman sungai.

"Kalian tahu darimana semua ini berasal?" Frederik bertanya pada seorang warga yang dari tadi berdiri dekatnya.

"Saya tidak tahu, Tuan. Tadi sore hanya dua ekor, tapi sekarang menjadi bertambah banyak."

"Kau sudah menghitungnya?"

"Mungkin ada 30 ekor, Tuan. Hari sudah gelap, jadi kurang jelas."

"Baiklah, aku minta engkau di sini semalaman. Jangan kemana-mana. Lapor padaku besok."

"Baik, Tuan."

Ada kasus lagi di kota ini. Gumam Frederik dalam hati. Matanya beralih ke arah Selatan memandangi sungai yang memanjang, terlihat di sepanjang kedua sisinya lentera dari rumah warga.

"Dasar manusia tak beradab ... bangkai domba malah dibuang ke sungai ...!" Frederik pergi sambil menggerutu dan menahan bau menyengat yang menyeruak ke udara.

Panca dan Misteri Gua KelelawarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang