42

141 36 0
                                    

BRAKK !

Pukulan Raden Aditama meleset, malah mendarat di dinding yang terbuat dari papan kayu. Papan itu terbelah.

"Heeppp!" Si Pria Tua mengelak. Kaki kanannya menerjang bagian perut Raden Aditama, meskipun masih bisa ditahan.

Lagi, tangan kanan Raden Aditama terarah pada wajah Si Pria Tua. Tapi ... kepalan tangan itu malah mendarat di guci yang dibawa Si Pria Tua.

PRAAKKK !

Guci itu pecah, berantakan dan terjatuh berserakan. Tapi tidak dengan isi di dalamnya. Ada sesuatu berbentuk sama dengan guci ... seperti emas.

Emas berbentuk guci terjatuh menggelinding di lantai.

"Hah ... benda apa itu? Kau dapat darimana?"

"Hei sudah kukatakan, bukan urusanmu."

Raden Aditama meraih baju Si Pria Tua. "Aku tahu benda apa itu? Asal kau tahu, aku dari Desa Pujasari ... sumber benda itu berawal ...."

"Eeee ... aku tak tahu ...."

"Kau jangan bohong padaku!" Raden Aditama memperkuat cengkeramannya.

"Eee ... dia tidak punya nama ... Si Jabrik ... begitu dia dipanggil."

"Hei ... di Batavia ini banyak orang jabrik ...."

"Aku benar-benar tidak tahu ... dia hanya menitipkan anak-anak kecil di penginapanku untuk beberapa malam."

"Dan kau dibayar dengan emas sebesar itu?"

Si Pria Tua menganggukan kepala. Dengan wajah ketakutan, dia berusaha berdamai.

"Rencana apa yang akan kalian lakukan? Sampai-sampai kau dibayar semahal itu?"

"Saya tidak tahu. Dia hanya menyuruh saya menjaga anak-anak itu."

"Kemana anak-anak itu sekarang?"

Si Pria Tua menggelengkan kepala.

"Jangan bohong!"

Si Pria Tua semakin ketakutan. Matanya melirik emas berbentuk guci yang menggelinding di lantai. Sambil tersenyum.

"Apa? Kau mau menyuapku? Aku tidak tertarik dengan emas itu. Karena ... aku punya lebih banyak ...."

Si Pria Tua tersenyum, merasa malu.

"Mereka dibawa ke pelabuhan!" tiba-tiba suara seorang gadis berteriak dari ujung lorong. "Tuan, tolong lepaskan Ayah saya, saya mohon ...."

Panca dan Misteri Gua KelelawarTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang