Hari ini Lili akan diajak ke suatu tempat oleh Vincent, teman sekolah plus satu satunya cowok yang paling akrab dengan keluarganya. Bahkan Vincent sudah tak merasa sungkan lagi setiap kali berkunjung kerumah. Katanya keluarga Lili merupakan rumah kedua baginya. Lili segera keluar rumah ketika suara khas motornya terdengar masuk ke halaman rumah. Tampak Vincent menggendong tas ransel serta kaca mata hitam yang melekat di wajahnya. Pakaian yang dikenakan cowok itu juga terlihat lebih santai, tasnya juga lebih berisi, tidak seperti saat sekolah yang hanya berisi angin. Entah barang apa yang saat ini dibawanya.
Padahal hari ini libur sekolah, justru Vincent membawa ransel yang berisi penuh. Bahkan saat sekolah saja Vincent jarang membawa buku di dalam ranselnya.
Vincent memberikan helm bogo ke tangan Lily. Dan bergegas berangkat menuju tempat yang katanya masih rahasia. Lili cuma menurut dan mengikuti arah kendaraan berjalan. Sebagai penumpang yang budiman. Lili tidak bertanya apapun kepada Vincent yang tampak bersemangat mengajaknya ke suatu tempat.
Disepanjang jalan banyak mahasiswa berpakaian almamater melintas membawa bendera dan atribut lainnya. Perjalanan agak terasa panjang dikarenakan sebagian akses jalan banyak yang ditutup dan dialihkan ke tempat lain. Lily masih belum bertanya kemana mereka akan berhenti. Yang jelas saat ini motor yang dikendarai Vincent masih melaju dijalanan.
Akhirnya setelah banyak melalui gang sempit dan menembus jalan lintas tengah kota, Vincent memarkirkan kendaraannya di pinggir jalan. Di sana banyak para mahasiswa yang sudah berkumpul dengan almamater dari berbagai kampus. Setiap kampus menggunakan almamater yang berbeda dengan atribut yang dikenakannya. Beberapa orang juga sudah berkumpul di depan gedung pemerintah. Memegang besi pagar dengan erat sambil berteriak.
Lili turun dari motor dibantu oleh Vincent yang tampak bersemangat menyaksikan para mahasiswa berteriak dengan mengacungkan tangan ke atas. Dengan menggigit korek api yang nyantol dibibirnya, Vincent juga tampak seperti mereka, para mahasiswa yang sedang melakukan aksinya di sana.
"Kita bakalan ikut mereka." kata Vincent melepehkan gigitannya.
Lili kaget, "Apa?"
"Iya kita bakalan ikut demo dengan mereka."
Lili mengangkat kedua tangannya, "Gue gak mau ikut-ikutan."
"Kapan lagi kita bisa kayak gini? Belum tentu jadi mahasisiwa nanti kita bakalan ngerasain kayak gini."
"Tapi gak gini juga kali."
Dengan pakaian seperti ini rasanya kurang pantas jika Lili mengikuti demo. Pasti bakalan rusuh atau bisa-bisa roknya robek saat lari-larian seperti yang pernah dilihatnya di televisi. Para mahasiswa dikejar oleh pihak kepolisian saat aksi demo mulai tidak terkendali. Dan juga sepatu yang dikenakannnya saat ini berbentuk slip on, bakalan terlepas jika hal itu terjadi. Lili juga tidak punya persiapan mental buat menghadapi hal yang belum pernah dilakukannya. Dan yang paling membuatnya kesal adalah Vincent sudah membohonginya.
Rombongan bus mulai berdatangan dari berbagai arah. Sebagian ada yang berasal dari sekolah menengah atas. Mereka mulai turun dari dalam bus dengan seragam putih abu-abu. Sambil menyanyikan yel-yel yang tidak tahu kapan diciptakannya.
Kini jalanan mulai dipenuhi para mahasiswa dan pelajar yang ikut andil dalam bersuara. Di sini Lili tidak tahu menahu perihal aksi yang dilakukan mereka. Hanya mengikuti arahan Vincent yang berjalan ke arah pelajar yang baru saja turun dari dalam bus.
Mereka bersalaman sok asik dan membentuk barisan, sementara bus tetap berjalan keluar dari kerumunan manusia. Orang-orang mulai memasang atribut di kepalanya, membawa spanduk dan mulai berfoto sebelum melakukan aksinya.
Lili berjalan dengan takut mengikut langkah kaki Vincent yang berjalan pelan akibat padatnya manusia saat ini. Teriakan keras mulai terlontarkan dari salah satu mahasiswa di atas mobil bak terbuka. Penampilannya sama persis seperti yang dikenakan Vincent saat ini. Memakai kacamata dan atribut di kepala. Dia adalah ketua BEM dari salah satu universitas. Secara bergantian ketua BEM menyuarakan aspirasinya di depan gedung pemerintah dengan kata-kata manis yang tegas namun penuh arti.
Ditengah kerumanan mahasiswa ada sedikit insiden yang terjadi. Mulai ada dorongan kuat dari belakang punggungnya, hingga membuat Lili terjatuh. Seseorang menolongnya namun tidak terlalu memperhatikan wajahnya. Lili bangun dan terpisah dari Vincent. Lili merasa cemas ketika tidak melihat sosok temannya tersebut. Ia juga tidak bisa mencari Vincent ditengah padatnya manusia. Kini dia hanya mengikut arahan yang berjalan terus ke depan entah sampai kapan.
Tidak tahu apa yang terjadi tiba-tiba terdengar suara keras entah itu sebuah arahan atau hal lain. Suara tembakan terdengar jelas di telinganya, Lili berlari bersamaan dengan para demonstran yang berseragam almamater. Lili berdiri melihat apa yang sedang terjadi di sana. terlihat beberapa mahasiswa berlari menjauhi kejaran polisi sambil menunduk, berpegangan tangan, memperkuat benteng.
Belum lagi asap dari tembakan gas air mata memenuhi jalanan kota. Suara tembakan meluncur bersahutan, hingga satu persatu dari beberapa demonstran mulai bertumbangan. Lili berusaha keluar dari kerumuman yang berdesakan, berpencar mencari tempat yang aman. Melihat beberapa mahasiswa mulai memanjati pagar pembatas jalan. Dalam hati juga berniat ingin mengikuti aksi tersebut. Mengingat dirinya kini menggunakan rok jeans panjang. Niat itu segera dikuburnya dalam-dalam, pasrah dengan keadaan.
Dari dalam gedung beberapa mobil water cannon mendekat ke arah jalan, untuk disemprotkan, membubarkan para demonstran. Bukannya menghindar para mahasiswa justru mendekati mobil tersebut sebagai bentuk tantangan. Tidak peduli apa yang terjadi di dalam kerusuhan. Lili harus bisa keluar dari sini.
Dilihatnya ada polisi mulai menyusup diantara mahasiswa dan mulai menangkap demonstran yang melakukan aksi brutal tersebut. Begitu juga dengan Lili kebetulan sedang berada di dalam barisan mereka, juga menjadi incaran polisi yang berpakaian lengkap denga atributnya. Para polisi dengan pengamannya mulai mengepung Lili yang terjebak diantara para demonstran.
Lili tidak ingin tertangkap konyol, apalagi niat awalnya bukan untuk mengikuti aksi ini. Ia mencari jalan keluar agar bisa lolos dari kerumunan yang mulai menyesakkan. Dada Lili benar-benar terasa sesak, pandangannya tidak begitu jelas. Tiba-tiba terdengar seruan entah dari mana arahnya untuk melindungi para wanita, seseorang menarik tangannya dan berlari kencang hingga Lili kembali terjatuh untuk kedua kalinya. Beberapa orang menyeggol tubuhnya dengan langkah kaki yang berlari cepat. Untung saja masih ada orang yang mau membantunya berdiri dan menarik tangannya keluar dari kerumunan.
Lili dibawa ke sebuah bangunan yang terbengkalai. Di sana banyak demonstran bersembunyi sampai ke atas gedung itu. Dada Lili semakin terasa sesak, matanya perih. kepalanya pusing. Seorang cowok memakai masker hitam dan berkacamata mendekati Lili. Memberikannya sebotol minuman lalu meminumnya. Kemudian cowok itu mengambil sisa air dalam botol dengan membasuhkannya ke wajah Lili lalu diberi pasta gigi di bagian bawah mata.
Setelah penglihatan Lili bagus. Ia melihat ke bawah kakinya, sudah tidak memakai sepatu. Ini adalah kejadian yang paling konyol dialaminya. Sejak tadi berlari sampai kesini Lily tidak menggunakan alas kaki. Kaos kaki bagian telapaknya sudah sobek dan menghitam. Cowok itu pergi setelah memberikan pertolongan, Bersama para demonstran yang melemparkan sesuatu ke balik bangunan.
Dari atas gedung sepasang sepatu bewarna merah mendarat di kepalanya. Lili merintih kesakitan, kepalanya kembali pusing setelah ditimpuk dengan sepatu itu. "Bangsat!" gerutu Lili memperhatikan sepatu itu. Tampak di atas gedung orang-orang melompat menuruni dari satu gedung ke gedung lain. Lili berpikir mungkin sepatu ini terlepas dari kaki seseorang sama seperti yang dialaminya. Daripada dianggurin Lili mengutip sepatu tersebut dan memakainya. Meski agak kebesaran ini lebih terlihat normal daripada tidak memakai alas kaki sama sekali.
Selang beberapa menit Vincent datang, wajahnya kusam dengan mata memerah.
"Akhirnya ketemu lo juga." Vincent memeluk Lili seketika. Langsung mendapat penolakan dari Livy dengan mendorongnya keras karena kesal. Vincent terpental ke bawah. Lalu berdiri membersihkan bokongnya.
"Tega lo ninggalin gue."
"Gue pikir tadi-"
"Udah, ah. Gue mau pulang."
Akhirnya mereka keluar dari persembunyian dengan situasi yang tampak lebih tenang. Beberapa polisi juga tampak mengobrol dengan beberapa mahasiswa dan berbagi minuman. Mereka berbincang santai. Lily berpikir heran kenapa semuanya tampak tenang setelah melalui kerusuhan yang barusan terjadi. Bagi Lili itu merupakan kerusuhan yang pertama kali dialaminya.
Lili dan Vincent berjalan, saling memapah mengambil motor di parkiran. Ada sedikit lecet dibagian wajah Vincent dan mengeluarkan sedikit darah. Kacamatanya juga tidak ada. Vincent tidak sekeren tadi ketika pertama kali akan berangkat ke sini. Akhirnya mereka pulang bersama senja yang akan menghampiri malam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Teka Teki Sepatu
Teen FictionSaat mengetahui pemilik sepatu itu adalah orang terdekatnya. Lili semakin yakin bahwa itu adalah takdir yang diimpikannya. Berkat sepatu itu perasaan Lili akan terjawab melalui cerita ini.