49. Belajar ikhlas?

61 4 36
                                    

Tidak. Kejadian kemarin bukan berarti semuanya berakhir begitu saja. Mungkin Aruna masih menyukai cowok itu, tapi dia tak bisa berbohong kalau ada sedikit kebencian yang muncul dan enggan untuk berhubungan dengan Darren untuk sementara waktu. Aruna masih patah hati, dan dia butuh jeda untuk kembali menata perasaannya yang saat ini telah berantakan.

Aruna harus ikhlas bahwa kenyataannya sampai kapanpun dirinya dan Darren tidak bisa bersatu. Semesta mempertemukan mereka bukan untuk mempersatukan, melainkan hanya memberi sebuah pelajaran dalam hidup.

Siang ini Aruna sengaja tidak pergi ke kantin bersama ketiga temannya. Dia memilih berdiam diri di kelas karena lagi tak ingin datang ke keramaian. Aruna juga sudah menceritakan semuanya kepada Dara dan Keisha, dan reaksi keduanya hanya diam serta menyuruhnya untuk sabar karena memang pada dasarnya mereka tidak tau persis apa inti dari permasalahan antara Aruna dan Darren. Beruntung, kedua sahabatnya itu juga menuntut lebih. Karena mereka paham situasinya bahwa Aruna sedang tidak baik-baik saja.

Entahlah, hubungan Aruna dan Darren sekarang sangatlah canggung. Setiap bertemu Darren, Aruna hanya diam atau kadang dia memilih menghindar sebisa mungkin. Sedangkan Darren yang ingin bertemu Aruna hanya bisa menatap nanar gadis itu karena Aruna selalu menghindar darinya. Kesalahan yang begitu fatal membuat Aruna mulai menjauhinya.

Aruna berdiri di dekat kaca sambil melihat kearah lapangan yang setiap harinya diramaikan oleh anak-anak yang bermain futsal. Seperti tak pernah absen, selalu saja mereka memperebutkan benda bulat tersebut. Lagi-lagi mata Aruna mendadak terasa panas ketika melihat Livia yang dari kejauhan menghampiri Darren yang tengah tersenyum lebar kearah pacarnya itu. Rasa sesak mulai menjalar di dadanya. Aruna bisa melihat bagaimana Darren mengacak-acak gemas surai hitam milik Livia dan membuat cewek itu tersipu malu.

Mereka nampak berbincang-bincang hingga Aruna tak sengaja melihat Livia tertawa begitupun Darren. Mereka sudah bahagia bersama. Aruna tersenyum miris. Mainan seperti dirinya bisa apa kalau sudah seperti ini? Perannya sudah tak dibutuhkan, harusnya dia memilih pergi bukan? Tapi kenapa masih saja harapan itu tertanam padahal sudah jelas kemarin baru saja dibinasakan secara paksa?

Siang itu kamu mengajakku untuk berbicara empat mata. Eh ralat, enam mata. Aku empat, kamu dua. Kamu mengajakku ke suatu tempat agar bisa berbicara denganku. Kamu tidak tau kan dalam hati, rasanya jantung ini ingin meledak. Ia terus meronta-ronta seperti ingin keluar dari tempatnya. Tubuh ini juga gemetar. Rasanya was-was takut kamu mengucapkan yang tidak-tidak.

Harapku besar ketika saat itu. Aku berharap kamu mengatakan yang membuatku terus mencintaimu. Tapi sayang, sepertinya dewi fortuna tidak berpihak padaku kala itu. Kamu bertanya yang seharusnya tak kamu tanyakan. Aku juga tak memiliki jawaban atas pertanyaan itu selain diam dan menatapmu sendu. Mata ini terasa panas, seperti ingin menangis. Sedangkan kamu hanya biasa saja seolah-olah memang tak pernah berbuat kesalahan apa-apa.

Aku tak memberikanmu kesempatan untuk berbicara dan langsung pergi karena ditelan amarah. Rasanya terlalu pedih menerima kenyataan. Tapi ketahuilah hari itu, hatiku patah. Ia dihancurkan oleh sang pemberi luka itu.

Dan sekarang, aku menangkap sosokmu lewat ekor mataku. Nampak kamu tengah berbahagia sekali tanpa sedikitpun melirik ke arahku. Dalam hati aku bertanya, kemana kamu yang dulu tertawa bersamaku? Apakah secepat itu kamu melupakannya? Kamu yang secepat itu melupakannya atau aku yang terlalu menyimpannya dalam ingatan?

Tolong ajarkan aku untuk cepat melupakan perasaan ini tanpa harus menanam bibit benci pada hati. Karena aku sadar semakin aku ingin membencimu, semakin sulit juga aku melupakanmu.

EVANESCENT (COMPLETED)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang