Bagian 36. Obrolan Pertemanan (a)

2.5K 382 38
                                    

Sore harinya, setelah semuanya sudah selesai, jenazah Yuna di kuburkan di tempat pemakaman umum. Acara pemakaman itu diikuti tangis seluruh keluarga dan juga kerabat dekat dari Yuna maupun Candra.

Jaemin yang juga hadir di pemakaman itu tak bisa menghentikan tangisnya. Candra dengan setia selalu ada di samping putra bungsunya itu. Ia mendekap bahu Jaemin sambil terus menguatkannya. Ia pun tak henti membisikan kata-kata yang membuat si bungsu sedikit tenang.

Sore itu Jaemin memakai kemeja hitam dan juga celana jins hitam. Matanya sembab memerah, ia menatap kosong liang lahat itu.
Ia berusaha mengendalikan tangisnya juga berusaha mengontrol emosinya.

Sama seperti Jaemin, Renjun yang dari pagi terlihat tegar akhirnya menangis. Ia pernah merasakan posisi seperti Jaemin. Dan Renjun sangat tau sakitnya kehilangan sosok Ibu untuk selamanya.

Jeno yang berada disamping Renjun terus mendekap bahu mungil itu. Mengecup puncak kepalanya juga membisikan kata-kata penenang untuk kekasihnya.

Lima belas menit kemudian mereka menaburkan bebungaan di atas pusara. Candra perlahan menuangkan air. Tanah merah sudah menimbun jasad Yuna. Nisan kayu juga tertancap disana. Beberapa orang mulai melangkah meninggalkan pemakaman.

"Na," Candra dengan sigap menahan tubuh Jaemin yang tiba-tiba ambruk. Suasana menjadi sedikit tidak kondusif. Beberapa pelayat yang masih berada disana menatap Jaemin yang tak sadarkan diri dipelukan Candra dengan prihatin. Dan Mark yang berada tak jauh dari tempat Candra langsung membantu mengangkat Jaemin untuk dibawa ke mobil.

Sepeninggalnya, suasana masih sedikit ramai. Renjun yang masih berada disana hanya bisa menangis dipelukan Jeno.

"Ma..." gumamnya seraya menatap nisan Yuna.

"Sabar sayang." Bisik Jeno.

"Mama Jen,"

Jeno mengangguk, "Iya sayang. Kamu harus ikhlas biar Mama gak sedih." Pemuda itu mengeratkan dekapannya pada tubuh Renjun yang masih bergetar.

"Jen kita tunggu di parkiran." Felix yang berada dibelakang Jeno berbisik. Setelah mendapatkan anggukan dari sobatnya, Felix dan yang lainnya meninggalkan pemakaman dengan hening.

"Sabar Jun." Guanlin mengusap pundak Renjun sebelum akhirnya mengikuti teman-temannya yang sudah berjalan menjauh.

"Masih mau disini atau pulang?" Jeno melepaskan pelukannya. Menghapus air mata Renjun walau nyatanya cairan bening itu masih terus keluar membasahi pipi gembilnya.

"Aku banyak salah sama Mama, Jen. Aku belum minta maaf. Aku bahkan belum pernah bilang kalo aku juga sayang Mama. Aku anak yang durhaka, Jen."

"Sayang hei," Jeno memegang kedua pundak bergetar Renjun. "Gak ada gunanya kamu nyeselin itu sekarang. Yang harus kamu lakuin sekarang itu berdoa buat Mama. Aku yakin Mama gak sejahat itu buat benci sama kamu. Ayo kamu bisa. Ada aku, ada Papa, ada Nana, ada temen-temen yang lain juga. Kamu bisa hm?"

"Aku nyesel Jen." Air mata itu kembali jatuh.

"Sayang," Jeno mengusap lembut pipi Renjun. "Kamu jangan terlalu nyalahin diri kamu sendiri. Ini udah takdir, sayang. Ayo bangkit. Ambil semua pelajaran dari kejadian ini. Sekarang kita pulang dulu hm? Kamu baru sembuh, aku gak mau kamu sakit lagi. Yuk pulang dulu nanti kesini lagi."

"Aku mau ke tempat Mama Wendy dulu." Renjun berkata serak seraya mengusap pipinya yang basah. Jeno yang juga menghapus sisa air mata itu mengangguk lalu merangkul bahu Renjun untuk menjauh dari sana.

***

"Ekhem."

Suara deheman seseorang membuat Bangchan menoleh ke samping. Cowok berjaket dongker itu mengerutkan dahinya ketika melihat Lucas berdiri di sampingnya.

DESTINYTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang