"Sampai kapan kamu mau menyakiti diri kamu sendiri?"
Renjun menghentikan aktivitasnya. Si mungil itu menengok ke belakang dan terlihat Candra tengah berdiri di dekat pintu yang menjadi penghubung kamarnya dan balkon.
Pria paruh baya itu menghela napas kasar lalu berjalan mendekat ke arah Renjun yang duduk dengan nyaman di kursi kesayangan nya.
"Berikan rokok itu ke Papa," pinta Candra dengan tangan terulur meminta agar putranya itu memberikan benda berbahaya itu
Bukannya memberikan, Renjun malah menatap Papanya lalu beralih ke tangan yang terulur. Keduanya saling tatap sampai Renjun terlebih dahulu melepaskan tatapan itu dan kembali menghisap rokoknya.
"Mau sampai kapan Ren? Sampai kapan?"
Nada pria paruh baya itu melemah. Bahkan terdengar lelah. Renjun terdiam. Namun ia tidak menoleh. Candra masih setia berdiri di sampingnya. Renjun tau Papanya. Renjun tau semuanya.
Namun entah mengapa si mungil itu bungkam. Enggan menyahut atau pun menoleh. Rokoknya pun hanya ia pegang, bahkan bungkusnya ia remas kuat-kuat.
"Apa yang bisa Papa lakukan Ren? Papa mohon berhenti." Nada Candra masih terdengar lelah. Entah lelah karena pekerjaan yang padat, atau pun lelah dengan hubungannya dengan Renjun yang seakan menjauh.
Dan Renjun masih bungkam. Hanya menghela napas pendek. Napasnya seakan tertahan.
Candra kembali menghela napas kasar lalu sedikit berjalan agar lebih dekat dengan posisi nyaman Renjun. Pria yang sudah berkepala empat itu menatap putranya.
Tidak ada yang berubah. Dia masih kebanggaan kita, Wen.
Seperti itulah batin Candra berbicara saat melihat Renjun yang masih diam menatap halaman rumah mereka yang luas.
"Ren," Candra memegang pundak Renjun halus lalu membantu Renjun untuk berdiri. Putranya itu menoleh dan kembali menatap Papanya. Papa yang Renjun banggakan walaupun diam-diam.
"Sampai kapan?" tanya Candra dengan nada yang tak pernah berubah. Tetap halus
Renjun melepaskan pandangan itu. Membuang napas lalu menggeleng.
"Gak akan pernah, Pa."
Candra melepaskan tangannya yang berada di pundak Renjun. Ia pun tak tau harus berbuat apa agar Renjun mau menerima keluarga barunya.
"Dia Mama kamu sa—"
"Engga," potong Renjun cepat. "Dia bukan Mama aku. Mama aku tuh cuma satu. Dan itu Mama Wendy."
"Renjun,"
"Papa nanya apa yang membuat aku kaya gini? Jawabannya satu, Pa," Renjun kembali menatap Candra. Dan kali ini lebih dalam
"Papa yang membuat aku kaya gini. Papa yang membuat aku mengenal dunia keras ini. Benda ini," ujar Renjun lirih. Sebisa mungkin ia tidak mengeluarkan cairan bening itu
"Maafin Papa Ren. Ampuni Papa." Candra menunduk
"Renjun gak marah sama Papa. Tapi Renjun kecewa sama Papa." ujar Renjun cepat
"Kamu boleh marah sama papa. Tapi papa mohon. Jangan marah sama mama Yuna. Mama gak salah apa-apa sayang."
Renjun tertawa. Entah untuk apa, "Mama? Udah aku bilang Mama aku tuh cuma satu. Mama Wendy. Dan dia bukan siapa-siapa aku!"
"HUANG RENJUN!"
"Sampai kapan pun, aku gak akan pernah bisa nerima seseorang yang udah ngerusak kebahagiaan aku, Pa. Gak akan pernah."
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
Fanfiction[NON BAKU] Huang Renjun tidak pernah merasakan kehidupan berwarna selain hitam, putih, dan abu-abu. Sampai akhirnya Lee Jeno datang memporak-porandakan kehidupan tenang miliknya Warning⚠️ BxB Jangan salah lapak. Walaupun udah selesai tapi tetep vote...