Ceklek
Suara decitan pintu bersentuhan dengan lantai terdengar nyaring walaupun orang itu membukanya dengan sangat amat hati-hati.
Jeno, cowok berhidung mancung itu masuk ke sebuah ruangan bernuansa putih dengan beberapa alat-alat medis di dalamnya. Cowok dengan kaos biru itu pun melangkah masuk, dan kembali menutup pintu dengan rapat.
Jeno berjalan mendekat ke arah brankar yang di atasnya terdapat seorang pemuda yang sedang tertidur nyenyak walaupun di hidungnya terpasang alat bantu napas.
Sebenarnya Jeno sudah sampai di Singapura sejak kemarin siang. Ia pun sudah bertemu dengan Lucas yang memang kebetulan sudah berada disana sejak hari terakhir UAS. Karena setelah bel pertanda ujian telah selesai, cowok tinggi itu langsung pergi ke bandara dan terbang hari itu juga. Tentunya dengan segala sesuatu yang sudah ia siapkan di dalam mobilnya.
Lucas pun sudah memberitahu Jeno bagaimana keadaan Renjun dan memberi tahu dimana rumah sakit dan ruangan berapa tempat si mungil di rawat. Selain itu, Lucas juga yang mengizinkan Jeno tinggal di tempatnya selama mereka berada di Singapura.
Dengan langkah gontai Jeno semakin mendekat ke brankar, di tatapnya sebentar Renjun yang masih tertidur sebelum ia duduk di kursi sebelah kanan ranjang.
Jeno menggenggam tangan kanan Renjun yang bebas infus dan satu tangan lainnya ia pakai untuk mengusap pelan puncak kepala si mungil. Walaupun Jeno melakukannya dengan sangat amat hati-hati, namun gerakannya itu membuat Renjun membuka matanya secara perlahan.
Terlihat dengan jelas cowok mungil itu terkejut melihat Jeno ada disana, namun ia memilih diam dan sejenak menutup matanya kembali. Jeno hanya tersenyum sambil mengusap pelan tangan putih itu.
"Gue capek, Jen."
Jeno mendongkak. Walaupun Renjun mengucapkan itu suara pelan, namun Jeno mendengarnya. Cowok itu menatap Renjun yang mengalihkan pandangannya ke jendela besar di samping kirinya.
"Hei hei," Jeno membenarkan posisi duduknya lalu kembali mengusap puncak kepala si lelaki mungil.
"Ra hei dengerin aku,"
"Gak ada yang bisa di harapin lagi, Jen."
"Ra hei,"
"Gue gak akan sembuh."
"Rajendra,"
Renjun menoleh ke arah Jeno, "Gue capek."
"Sstt," Jeno maju dan merengkuh tubuh mungil itu seraya terus mengusap puncak kepalanya. Renjun menangis, sejak tadi cowok itu memang sudah menahan tangisnya namun sebisa mungkin ia tahan. Dan ketika Jeno memeluknya, entah mengapa ia tidak bisa menahan kristal-kristal bening itu sehingga langsung ia tumpahkan begitu saja. Dan ini adalah pertama kalinya Renjun menangis di hadapan Jeno.
"Gue capek." Si mungil terus menggumamkan itu disela-sela tangisnya.
"Kamu kuat. Aku yakin itu. Kamu pasti sembuh." Jeno masih mengusap-usap halus rambut Renjun namun cowok itu tidak bisa menghentikan tangisnya. Bahkan bahunya terlihat bergetar dan meremas ujung kaos Jeno membuat si tampan semakin mengeratkan pelukannya.
"Ra,"
"Capek, Jen."
"Mereka cuma manusia, mereka bukan Tuhan jadi mereka gak bisa memperkirakan umur kita. Kamu pasti sembuh aku yakin." Jeno kembali mempererat pelukannya dan satu tangannya ia pakai untuk mengusap punggung bergetar Renjun.
"Ra, hei dengerin aku," Jeno melepaskan pelukan itu lalu berganti menangkup wajah Renjun dengan kedua tangannya. "Kamu pasti sembuh, pasti "
"Hei hei, berhenti nangis okay?"
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
Fiksi Penggemar[NON BAKU] Huang Renjun tidak pernah merasakan kehidupan berwarna selain hitam, putih, dan abu-abu. Sampai akhirnya Lee Jeno datang memporak-porandakan kehidupan tenang miliknya Warning⚠️ BxB Jangan salah lapak. Walaupun udah selesai tapi tetep vote...