Jauh dari kebisingan di bawah, Jaemin justru mengurung diri di kamarnya. Namun ia tak sendiri, Haechan dan Jungwoo dengan senang hati menemaninya disana. Memberikan semangat kepada pemuda itu dan mengajaknya bicara agar dia tak terus-terusan diam sambil melamun.
Jaemin memang sudah tidak menangis, namun wajahnya masih terlihat sangat terpukul atas kejadian yang sama sekali tak pernah terpikirkan oleh otaknya. Mamanya pergi meninggalkannya secara tiba-tiba. Tanpa pamit ataupun memberikan ciuman terakhir untuknya.
Haechan menyenggol Jungwoo yang duduk di sampingnya. Cowok tan itu mengisyaratkan lewat matanya agar mereka mengobrol dengan Jaemin. Jaemin masih saja terdiam, ia memegang foto Yuna dan sesekali mendekapnya.
"Na," Haechan memegang pundak Jaemin namun tak ada respons dari sahabatnya, ia masih saja terdiam dan mendekap figura itu.
"Na udah dong jangan sedih terus, kalo lo sedih nanti nyokap lo juga sedih. Kasian, Na." Jungwoo berbicara dengan suara rendah.
"Iya Na. Lo harus kuat, lo gak sendiri. Ada kita kok, kita janji gak akan ninggalin lo, asal lo harus bisa mengikhlaskan semuanya biar nyokap lo juga tenang disana." tambah Haechan.
"Sakit banget, Chan." Air mata yang sudah mengering itu kembali jatuh bersamaan dengan luka yang kembali membuat hati Jaemin menangis.
Haechan maju dan memeluk Jaemin sedangkan Jungwoo mengusap-usap punggung bergetar itu. Mereka berdua selalu ada disaat Jaemin membutuhkannya, dan mereka sudah berjanji jika ada salah satu di antara mereka yang terpuruk, maka yang lainnya akan selalu memberikan dukungan agar sahabatnya kembali bangkit.
"Udah ya, Na, jangan nangis terus." Haechan mengusap punggung Jaemin yang masih bergetar.
Jaemin melepaskan pelukannya lalu menghapus air matanya. Matanya masih sembab dan hidungnya merah.
"Makasih ya kalian selalu ada buat gue."
"Na kita ini sahabatan udah lama. Jadi jangan ngerasa kalo lo itu sendiri." Jungwoo tersenyum sambil mengusap tangan Jaemin.
"Udah jangan sedih lagi. Doain nyokap lo biar tenang disana." ujar Haechan sambil menghapus sisa-sisa air mata Jaemin membuat cowok itu tersenyum lalu mengangguk.
"Mending keluar yuk, biar lo juga gak bosen di kamar terus." ujar Jungwoo.
"Ngomong aja lo pengen keluar biar bisa ketemu sama Lucas. Ngaku lo!" hardik Haechan yang langsung mendapatkan lemparan bantal dari si tinggi.
"Mulut lo minta di giling banget, Chan." Jungwoo berkata geram dan hendak menjambak rambut Haechan namun Haechan langsung pindah tempat ke samping Jaemin.
Diam-diam Jaemin tersenyum melihat tingkah Jungwoo dan Haechan. Mereka memang kadang kalau ngomong tidak pernah di saring, namun percayalah mereka berdua saling menyayangi.
"Lo masih suka sama Lucas, Woo?" tanya Jaemin dengan suara seraknya. Wajar seharian ini ia menangis mengakibatkan suaranya menjadi serak.
"Iyalah. Lo gak liat si cabe ini gimana kalo ngeliat Lucas?" bukannya Jungwoo, justru malah Haechan yang menjawab.
"Lo!" geram Jungwoo.
"Udah-udah. Wajar kok, kalian kan pacaran lama." Jaemin melerai. Ia memang sering kali menjadi penengah di antara Haechan dan Jungwoo.
Sifat Jaemin yang pendiam dan tenang mampu melengkapi sifat Haechan yang asal ceplos gak bisa diam dan Jungwoo yang jutek. Keduanya sering kali adu mulut mengeluarkan kata-kata kasar seperti itu. Tapi keduanya tak ada yang marah jika dikatai seperti itu, mungkin mereka berpikir jika itu hanya candaan pertemanan bahkan Haechan menyebutnya panggilan sayang untuk Jungwoo. Dan Jungwoo juga seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
DESTINY
Fanfiction[NON BAKU] Huang Renjun tidak pernah merasakan kehidupan berwarna selain hitam, putih, dan abu-abu. Sampai akhirnya Lee Jeno datang memporak-porandakan kehidupan tenang miliknya Warning⚠️ BxB Jangan salah lapak. Walaupun udah selesai tapi tetep vote...