Chapter 20-End?

4.8K 492 49
                                    

Menuju Konflik yang sesungguhnya nih.

kalau ada typo kasih tahu yak.

Happy reading 🐱

Samuel sudah rapi dengan stelan jasnya dan ia sekali lagi menanyai Hana yang benar-benar tidak ingin datang ke pesta bersamanya. "Yakin tidak mau ikut?"

"Kakiku lelah," kata Hana memberikan alasan lain lagi. Ia memainkan laptop dalam pangkuan, mencoba menyibukkan diri pada bahan yang siap ia presentasikan besok pada rekan satu timnya.

"Sudah kubilang berhentilah bekerja jika itu membuatmu lelah. Kamu tidak kasihan pada bayimu? Aku bisa memenuhi kebutuhanmu dan bayi itu meski kamu tidak bekerja," ujar Samuel kemudian duduk di sebelah kaki Hana. Menatap wanita itu meski tak mendapatkan balasan tatap.

"Yang pertama, sejak kapan kamu peduli pada bayi ini? Jangan lupa, sudah berapa kali kamu punya niat untuk membunuhnya. Yang kedua, aku harus tetap bekerja. Jika nanti kita bercerai, aku tidak akan kesulitan mencari pekerjaan baru."

Samuel langsung dibungkam oleh jawaban Hana. Ia teringat betapa dulu ia sangat gencar ingin menyingkirkan bayi itu bahkan bersama ibunya. Tapi entah sejak kapan, Samuel tidak tahu kapan tepatnya perasaan ingin menyingkirkan bahkan sedikit menyakiti bayi itu saja tidak ada. Pria itu menghela napasnya. Semakin hari ucapan Hana semakin tajam dan bisa langsung membungkamnya. Samuel tahu jika sesuatu yang buruk pasti sedang dialami Hana hingga wanita itu menjadi lebih keras dari sebelumnya. Samuel bahkan lupa kapan terakhir kali ia melihat Hana tersenyum padanya.

Karena tak ingin berdebat, Samuel memutuskan untuk mengakhiri obrolan ini. Ia mencari jam tangannya yang beberapa jam lalu ia lihat di atas sofa. Samuel tidak menemukannya di sana. Ia membuka laci di sebelah sofa dan malah menemukan kotak asing berukuran sedang di sana.
Samuel membuka kotak yang ternyata berisi sebuah kalung berliontin permata yang indah. "Tidak ingin pergi tapi menyiapkan kado untuk Ibu," sindir Samuel dengan nada ejekan yang kentara.

Hana menoleh cepat dan langsung turun dari ranjang setelah melempar laptopnya untuk merebut kembali kotak di tangan Samuel.

Samuel menjauhkan kotak itu dari jangkauan Hana. Beruntung Hana jauh lebih pendek darinya. "Biar aku yang memberikannya pada Ibu. Dia pasti senang mendapat hadiah darimu."

"Tidak, itu milikku. Kembalikan. Itu bukan untuk Ibumu."

Samuel tak tahu kenapa Hana harus berbohong. Dengan jelas di sana ada kartu ucapan untuk Lusi berupa doa dari Hana agar Lusi panjang umur dan tetap sehat. Apalagi saat Hana menggunakan sebutan ibumu pada ibunya. "Kamu pikir aku bodoh? Kenapa harus berbohong, sih?"

"Itu milikku! Kembalikan!" teriak Hana penuh emosi.

Melihat reaksi Hana yang berlebihan, Samuel pun segera mengembalikan kotak itu.

Tanpa mengatakan apa pun, Hana menatap Samuel sinis lalu keluar dari kamar dengan bantingan pintu. Hana berlari menaiki anak tangga dan masuk ke dalam salah satu kamar. Ia membuka kamar mandi dan mengunci diri di dalam sana. Ia menangis kencang sendirian. Melepaskan semua perasaan tak nyaman yang sialannya masih betah menyelimuti hati Hana. Ada ngilu dan sakit yang tidak bisa Hana jelaskan dengan kata-kata rasanya.

Ia memukuli dadanya sendiri, berharap rasa sesak itu berkurang. Hana pikir dirinya cukup berharga di keluarga Samuel sampai Lusi berani berlutut di depannya dan jatuh sakit agar Hana mau dinikahi Samuel. Ternyata semuanya tidak sespesial itu. Lusi bahkan masih berharap Clarine lah yang menjadi menantunya, bukan Hana.

***

Tanpa Samuel sangka, pagi ini Hana demam tinggi. Semalam ia menginap di tempat Clarine karena tak ingin kembali bertengkar dengan Hana. Tapi ternyata keputusan menginap itu salah karena ia meninggalkan Hana yang sedang demam sendirian. Pagi tadi, Hana yang sudah tak tahan dengan demam yang membuatnya hampir tak bisa membuka mata menghubungi Dini. Pukul tiga pagi, Dini datang dan merawat Hana.

Betapa terkejutnya Dini saat pagi tadi Samuel masuk ke dalam rumah bersama Clarine. Dini tak mampu berkata-kata. Hanya ada rasa sakit di dadanya membayangkan penderitaan Hana selama menikah dnegan Samuel dan bodohnya ia tak sadar akan hal itu.

"Kamu pulang saja. Aku sudah baik-baik saja. Terima kasih, Din," kata Hana sembari melemparkan senyum kecil pada temannya itu.

"Kamu harus ke rumah sakit. Pikirkan bayimu juga, Hana."

"Aku sudah lebih baik karena dirawat dokter yang hebat sepertimu," canda Hana. Ia kembali terserang kantuk karena baru saja meminum obatnya.

Setelah sedikit berdebat dan tentu saja masih Hana yang menang, Dini berpamitan padanya. Ia keluar dari kamar tanpa menatap Samuel bersama kekasihnya yang berdiri di salah satu sisi kamar.

Clarine mendekati Hana lalu membenarkan selimut wanita itu. "Sudah lebih baik?" tanya Clarine.

Hana mengangguk dengan senyum kecil. "Bisa tolong tinggalkan aku dan Sam sebentar? Ada yang harus aku bicarakan dengannya."

Clarine mengangguk cepat. "Tentu saja. Aku akan keluar." Ada perasaan cemas ketika Hana meminta waktu Samuel untuk bicara berdua, Tapi Clarine cukup sadar dengan posisinya sekarang. Hana adalah istri sahnya.

Saat melewati Samuel, Clarine melemparkan senyum tipisnya seolah mengatakan bahwa semua akan baik-baik saja.

Samuel berjalan mendekati Hana kemudian duduk di sebelahnya. "Apa yang sakit."

"Semua," jawab Hana dengan nada serius. Wanita itu berusaha duduk dibantu oleh Samuel lalu menyandarkan punggungnya di sandaran ranjang. Semuanya terasa sangat menyakitkan.

Samuel merasa bersalah kemudian menggenggam jemari Hana yang masih terasa panas. "Kamu harus ke rumah sakit."

Hana menggelengkan kepalanya. "Tidak perlu. Aku sudah minum obat. Aku ingin bicara serius denganmu."

"Katakan."

"Aku tidak bisa lagi menjalani hubungan seperti ini. Aku tidak sekuat yang aku bayangkan."

"Apa maksudmu?"

"Ini terlalu lama, Sam. Pada akhirnya kamu tetap harus memilih antara aku atau Clarine. Jangan egois dengan berpikir kamu bisa memiliki keduanya."

"Aku tahu. Aku sangat paham perasaanmu, Hana. Clarine sangat penting bagiku, tapi ... aku mungkin harus mencintaimu karena bayi itu"

"Putuskan Clarine."

"Tidak!"

"Kalau begitu mari bercerai!"

"Sekarang kamu yang egois, Hana! Sejak awal kita sudah sepakat."

"Aku tidak bisa seperti sejak awalmu itu, Sam! Karena sekarang aku sudah mencintaimu!"

"Apa?"

"Tidak, maaf. Aku tidak bermaksud mengatakan hal itu. Aku hanya sedang kesal." Hana menarik tangannya dari Samuel. Dilepaskannya cincin pernikahan yang melingkar indah di jari tengahnya.

"Hana."

Hana membuka tangan Samuel lalu meletakkan cincin itu ke tangan Samuel. "Mari bercerai. Kita tidak boleh saling menyakiti, Sam. Aku mengembalikannya padamu saat ini." Ada sesuatu yang terasa terangkat dari pundak Hana setelah ia mengatakannya. Kepalanya terasa lebih ringan dan ada sepercik kebahagiaan tak kasat mata yang memenuhi dada Hana. Ia seperti baru saja melepaskan beban paling berat dalam hidupnya.

Samuel menggeleng. "Kamu hanya sedang terbawa emosi."

"Kita sebelumnya mungkin tidak pernah sadar jika cinta bukanlah sesuatu yang bisa dipaksakan. Itu adalah perasaan murni yang tumbuh di dua hati. Mencinta sepihak bukan keputusan yang bijak. Selamat tinggal, Sam. Aku berharap setelah ini kamu tidak lagi memandangku sebagai sebuah kesalahan."

Uwuuu. Sini komentarnya ditinggalin

Tell Me Who You Love (Pindah ke Kubaca dan Icannovel)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang