Kalau ada typo, tandai ya
406🎉
🍭
🍭
🍭
Sebuah keberuntungan, bisa didapatkan kapan saja. Tak mengenal orang atau kasta. Mungkin, inilah kali pertama untuk Lia merasakan keberuntungan sedang berpihak padanya. Waktu kejadian sangat tepat, seperti sebuah skenario yang telah dirancang khusus oleh Tuhan untuknya.
Tak ada tamparan kedua yang Lia dapatkan. Tangan Tika berhenti di udara, tubuh wanita itu menegang dengan wajah terkejutnya. Lia memutar leher yang membentuk sudut 90°, melihat ayah dan ibunya yang saat ini tengah menatapnya denga makna yang berbeda.
Melihat ke arah kaca, Lia dapat mengetahui kalau ada bekas luka lebam di pipinya, luka yang didapatkan disaat tamparan pertama Tika. Lia menaruh kedua tangannya dibelakang tubuhnya, plastik makanan masih dipegangnya dan saat ini, Lia takut mereka menyadari kalau Lia tengah mebawa makanan yang bisa dibilang mewah.
Langkah lebar dari kaki panjang ayahnya, menghampiri Tika dengan Lia. Tika menjatuhkan tangannya dan mencubit ujung bajunya, hanya untuk menenangkan rasa gugupnya saat ini. Sedangkan Lia, hanya memasang raut datar saja. Tanpa perlu dipanasinya, pasti ayahnya sudah marah bukan kepalang.
"Mengapa kau menampar adikmu?"
Mulut Tika seolah terkaku karena belum mendapatkan jawaban yang tepat sebagai alasannya. Tika melirik sejenak ke arah ibunya, alisnya berkerut untuk meminta tolong. Namun, ibunya menggeleng pelan dan menunjukkan telapak tangannya. Mulut Clara bergerak, tetapi pintas suaranya tak terdengar. 'Tunggu saja, Ibu nanti akan membantumu.' Itulah kira-kira kalimat yang Tika terima. Dia snagat mengerti kalau Ibunya hanya ingin menenangkan Reza setelah memarahi Tika.
"Jawab! Mengapa kau diam saja?"
Tika membasahi bibirnya sebentar, lalu mengatakan, ''Ayah. Aku tak akan marah jika tidak ada alasan. Aku melihat Lia tadi sedang bercumbu mesra juga dengan seorang pria." Rasanya, Lia ingin tertawa mendengar alasan yang telah Tika buat.
Playing Victim.
Sayangnya, Tika tak ada bukti yang jelas, sehingga Lia tampak tenang saja. Dia hanya perlu diam, setidaknya saat Lia diam, Dia akan dianggap sebagai korban di sini.
"Berikan bukti." Kali ini, suara Reza nada suara Reza lebih lembut daripada sebelumnya. Dia hanya ingin mendengar alasan Tika dengan disertai bukti.
"Aku tidak sempat memotretnya, Ayah. Maafkan Aku," ucap Tika dengan penuh rasa bersalah. Seperti berada di luar ruangan, suhu di sini sangatlah panas, sehingga pendingin ruangan seolah tak berfungsi sekalipun.
Terbukti, dengan keringat yang terus menetesi dahi Tika sedari tadi. Bukan hanya lama di kulitnya, tetapi di hatinya juga, Tika merasa sangat panas.
"Tak ada bukti, maka ucapanmu adalah sebuah kebohongan. Lihat adikmu, sudah memiliki luka lebam di pipinya, itu pastu karena ulah mu, 'kan?" tanya Reza. Dia melirik ke arah putri kandungnya yang tampak biasa saja, meski telah ditampar oleh Tika. "Ayah juga tadi mendengar suara tamparan. Jadi, di sini kau yang bersalah Tika."
"Maaf, Ayah. Aku hanya kesal saja kepada Lia yang menghina ku sedari tadi. Aku stress memikirkan beberapa tugas yang menumpuk di kampus, tetapi dia telah membuatku semakin stres." Setetes cairan bening keluar dari sebuah organ yang memiliki fungsi sebagai indera penglihatan. Satu tetes jatuh, maka disusul dengan ribuan tetesam air mata dengan disertai suara isakan.
"Apa benar, Lia. Kau menghinanya?"
"Benar," ucap Lia dengan jujurnya. Sebelum Reza membuka suara, Lia terlebih dahulu berkata, "Aku tidak gila menghinanya tanpa sebab. Kemarin, saat aku dicambuk oleh Ayah karena hukuman yang sam sepertinya, Dia juga menghina ku. Aku hanya sedikit dendam dan mengucapkan sebuah kalimat saja."
"Namun, kau juga salah. Mengapa kau menghina kakak mu, hanya dendam? Apakah kau tak diajarkan etika kepada keluarga," ucap Reza dengan kesalnya.
"Ya, Aku salah. Maaf." Tak ada emosi yang Lia rasakan saat ini. Meski sempat terjadi ketidakseimbangan dalam hatinya, tetapi sudah Lia pulihkan. Hatinya menjadi seperti biasa, seperti sedia kala.
Sudut bibir Tika terangkat. Tersenyum kemennagan karena telah mendengar pengakuan Lia.
"Aku di sini salah. Jadi, apa hukuman yang kudapat, Ayah?" Lia menaikkan dagunya setinggi mungkin. Sebuah snehum lembut ditunjukkan, membuktikan kepada ayahnya kalau hanya dengan hukuman saja, tak akan membuatnya sedih.
Melihat ketegaran Lia, berhasil membuat Reza tertegun. Ucapan Lia begitu ringan, seperti sebuah candaan semata, hal itulah yang telah menghantam relung hatinya. "Tidur di luar untuk malam ini."
Lia mengangguk. "Aku akan mengganti baju dan menaruh seluruh barang-barangku. Aku akan keluar nanti." Lia memasuki kamarnya, menghela napasnya dengan sangat panjang. Melemparkan tas ke ranjang dan menyimpan makanan yang telah dibeli oleh Brian untuknya.
Memilih baju yang tebal. Akhir-akhir ini cuaca mulai tak stabil, terkadang hujan atau panas. Dari gadgetnya, Lia melihat prediksi cuaca untuk hari ini, termasuk malam hari. Dari prediksi cuaca, malam ini akan terjadi hujan dan petir sehingga suhu bisa menjadi rendah.
Lia keluar dari kamarnya. Melihat Tika dan Clara yang saat ini menyambutnya dengan senyum, bukan senyum manis, tetapi senyum sinis. "Makanya, jangan mencari masalah padaku," ucap Tika.
"Kau kira Aku peduli. Sedih? Aku bukan orang lebay sepertimu yang akan menangis hanya dengan masalah kecil saja," ucap Lia. Kakinya melangkah, menuruni tangga dan melihat Ayahnya yang asik dengan rokoknya.
Sangat tak biasa, Reza merokok. Hanya diwaktu sedih atau stres saja, Dia akan merokok.
"Aku akan keluar, Ayah." Tak mendapatkan jawaban dari Reza, Lia langsung keluar dari rumahnya. Duduk di teras depan seraya melihat mobil berlalu lalang atau satpam orang menaiki sepeda hanya untuk menjaga keamanan saja. "Keberuntungan? Ku kira baru saja dirasakan, ternyata masih nasib sial yang menghampiriku."
Melihat matahari yang tenggelam dengan mengeluarkan sinar oranye, membuat hati Lia menjadi lebih baik. Menyandarkan tubuhnya di pilar yang berdiri tegak.
Pada saat Adzan Magrib berseru memamggil umatnya, Lia mulai sadar kalau hanya dengan Tuhan saja Dia bisa menceritakan seluruh rasa sakitnya saat ini. Disaat Lia sedih, ada panggilan Tuhan yang seolah dikhusukan untuknya, menceritakan seluruh masalah.
Lia bangun, keluar dari lingkungan rumahnya dan menuju ke sebuah Masjid yang ada di komplek ini. Beberapa orang ditemuinya juga, hendak akan ke Masjid.
Masjid yang berdiri dengan tegaknya, dengan puncak kubah yang menambah keindahan. Lia memasuki Masjid, untuk hanya ada dirinya dan seorang nenek tua. Lia tersenyum kepadanya. Menuju ke tempat wudhu dan membasahi beberapa tempat di bagian tubuhnya dengan air yang mengalir.
Setelah selesai, Lia memakai mukena nya dan memulai untuk melakukan shalat Magrib berjamaah. Hatinya langsung tenang, seluruh masalah yang maish teringat di otaknya juga langsung hilang. Saat sujud terakhirnya, tanpa sengaja Lia menjatuhkan air matanya.
Kepalanya menengok ke kanan dan kiri, mengucapkan salam. Tangannya terangkat, terdiam di depan wajahnya. Matanya menutup.
"Ya, Allah. Aku merasakan sebuah ketidakadilan dalam hidup ini. Apakah ini jalan takdir ku? Aku sedih dan hanya Engkaulah tempat ku menyampaikan kesedihan ini. Ya Allah, Aku hanya manusia biasa, berusaha untuk kuat, trraoi setiap ujian yang kau berikan, selalu mencoba melemahkan hati ini. Bisakah aku meminta? Aku hanya ingin sebuah kebahagiaan dalam hidup ini, hanya itu saja."
"Rabbana atina fiddunya hasanah wa fil akhiroti hasanah waqina 'adzabannar. Aamiin."
TBC.
Minggu, 22 November 2020.
Publikasi: Minggu, 20 Desember 2020.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ms. Money (END)
Teen FictionIni tentang Lia yang menjadi gadis pecinta uang. Seringkali dia memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan uang, salah satunya adalah memanfaatkan seorang pria kaya yang akan diambil uangnya. Niatnya ingin memanfaatkan, justru menjadi sebaliknya. Li...