Kalau ada typo tandai ya.
917
🍭
🍭
🍭
Selama ini, Lia terus menahan sebuah rasa kesal dan bencinya. Dia ingin mendapatkan kasih sayang dari orang tua seperti anak-anak pada umumnya. Tak ada yang lebih menyakitkan saat kita mengetahui bahwa orang tua yang telah membesarkannya akan cerai. Tentu, dulu Lia merasakan kecewa sekali. Apalagi saat melihat ayahnya yang berlaku kasar pada ibunya.
Semua yang terjadi seperti waktu yang berjalan dalam satu detik. Semuanya secara tiba-tiba. Lia tidak bisa mencega suatu kehancuran datang. Dia dulu hanya menonton saja. Lia benci rasa takut, karena ketakutan bisa membuat siapa saja akan menjadi lemah. Lebih baik, Lia dianggap menjadi orang jahat, stereotip nya yang dikenal jahat, akan membuat banyak orang menjadi takut padanya.
Itulah suatu prinsip yang Lia pegang selama ini. Terbukti, ibu tiru beserta kedua putrinya tak pernah sekalipun berani menyakiti Lia secara berlebihan, seperti yang ada dalam film, mungkin mereka hanya akan menampar Lia saja untuk yang lainnya, mereka akan mengadukan sifat buruk Lia kepada ayahnya, agar Reza sendiri lah yang akan menghukum Lia.
Lia sangat tahu strategi mereka untuk terus menyakitinya. Sakit adalah makanan seharu-harinya. Tak pernah sekalipun dalam benak Lia untuk berpikir membenci ayahnya. Dia tetap tinggal di rumah megah tersebut, hanya ingin memantau ayahnya saja.
Ketakutan terbesar Lia adalah niat jahat Clara. Akibat dulu Lia yang suka menonton film Cinderella, membuat Lia selalu mewanti-wanti jika Clara akan menaruh racun di makanan ayahnya. Lia takut, Clara hanya mengincar harta ayahnya saja, seperti wanita pada umumnya.
Namun, selama hidup 7 tahun bersama dengan ayahnya, ta pernah terlihat sedikitpun Clara yang memiliki niat terselubung untuk membunuh Reza. Lia juga tahu kalau Clara begitu mencintai ayahnya. Namun, caranya saja yang salah. Clara takut kalau dengan adanya Lia dan citranya juga baik, pasti posisi anak-anaknya akan tergeser. Hal itulah yang membuat Clara selalu membuat citra Lia menjadi seburuk mungkin, agar mereka bisa menguasai ayahnya terus.
Saat ini saja, ayahnya sudah tak peduli. Lalu apa yang diharapakannya? Putri kandung satu-satunya tengah sakit sebab pria itu, lalu dia tak merasakan simoat sedikitpun. Lia ingin sekali berteriak dan menelpon ibunya, memintanya untuk menyusul Lia dan membawanya pergi sejauh mungkin.
Tempat yang tak akan ditemukan oleh siapapun itu.
"Biarkanlah." Hanya kalimat itu yang keluar dari mulut Lia. Dia langsung menjatuhkan tubuhnya di ranjang. Stella yang berada di dekat jendela hanya bisa merasakan kasihan saja.
Sudah semalaman dirinya berusaha untuk menghubungi ayah Lia, tetapi tetap saja tak ada balasan darinya. "Kau benar, biarkanlah. Fokus pada hidupmu, Lia. Jangan pedulikan orang lain yang justru akan membuat masa depan mu jadi terhambat. Lebih baik, kau perbaiki diri menjadi lebih baik. Aku yakin karma akan datang untuk mereka yang telah membuat kebaikan atau keburukan." Tak mendapatkan tanggapan dari Lia, Stella mengetahui kalau Lia ingin sendiri.
Dia menghampiri Lia, melihat tatapan wanita itu yang sangat kosong, seolah tak ada harapan hidup lagi. "Aku akan keluar," ucap Stella. Keluar dari ruangan inap Lia, dia dapat mendengar suara tangis yang menyayat hati dari dalam ruangan tersebut. Stella tahu, kalau Lia ingin sendiri. Sendiri dalam kegelapan yang menjadi teman masa kecil wanita itu. Menangis untuk mencurahkan isi hatinya.
Hanya Stella saja yang cukup mengetahui tentang Lia.
"Mereka memang orang tua yang begitu buruk," gumam Stella. Dia menutup matanya sejenak, di pagi hari yang harusnya cerah ini, berubah menjadi mendung.
Harusnya, Stella tadi tak mengucapkan kalimat tersebut. Kalimat yang dapat membuat perubahan dalam diri Lia. "Aku salah."
"Ada apa, Stella?" Stella langsung membuka matanya. Melihat Brian yang berdiri di dekatnya. Wajahnya masih terdapat lebam-lebam yang mendominasi. Tangan pria itu menegang sebuah plastik. Stella yakin isinya pasti makanan untuk Lia.
"Lebih baik, kau jangan ganggu Lia dulu. Dia sedang merasakan sedih dan juga suasana hatinya dinpagi ini snagta buruk," ucap Stella dengan penuh harapan.
Namun, Brian langsung memasuki ruang inap Lia. Hal itulah yang membuat Stella hanya bisa menghela napasnya dengan kasar. Tangannya memukul pelan tembok. "Pria bodoh. Lia akan sangat marah jika dia sedang menangis."
Sesampainya di ruangan Lia. Brian hanya bisa melihat seorang wnaita yang tengah meringkuk dalam tidurnya, memunggunginya. Suara tangis dapat didengarnya, tangisan yang bisa membuat siapa saja menjadi lebih simpati dan juga iba.
Kaki Brian melangkah mendekati keberadaan Lia. Tangannya terngakt, mengelus kepala Lia, membuat wanita itu mendongak. Langsung saja, Lia menghapus air mata yang menghiasi wajahnya.
"Mengapa kau di sini?" tanya Lia kesalnya. Brian tahu, kalau wanita itu pasti tak ingin diganggu pada saat-saat ini.
"Aku hanya ingin menemani mu." Brian mendekatkan tubuhnya, membuat Lia yang secara refleks langsung mundur. Tangan Brian mendekap erat tubuh Lia yang tampak lemah. "Perlukah aku, jika kau merasakan sedih. Aku memang tidak bisa menenangkan mu, tetapi aku yakin semua rasa sakit jika kau berada di pelukanku.''
Lia tak menberontak. Dirinya yang memang sedang membutuhkan seseorang, langsung menangis. Tangannya berusaha menahan suara tangisannya, tetapi dengan ceoat Bria menghalanginya.
"Menangis adalah saat kau mengeluarkan emosi yang sangat banyak dalam dirimu. Menangis lah maka emosi mu akan menjadi netral. Jangan ditahan." Lia langsung menangis dengan kuatnya. Dia tak bisa menahan seluruh emosi yang sudah ditabungnya sejak masa kecilnya. Mungkin, saat ini Lia tengah menghancurkan tabungan kesedihannya, sehingga logikanya tak dapat berpikir dengan benar. Dia memukul pelan tubuh Brian sebagai pelampiasan akan kemarahannya.
Brian hanya diam. Tangannya terus mengelus kepala Lia. Dia tak tahu apapun yang bisa membuat Lia menjadi seperti ini. Brian sangat yakin kalau ada masalah besar yang saat ini tengah dihadapi langsung oleh Lia. Tubuhnya yang dipukul, tak terasa sakit sedikitpun karena pukulannya begitu pelan sekali.
"Aku ingin membenci. Namun, mengapa rasa benci itu tak pernah muncul? Aku ingin menjadi jahat, tetapi nasihat ibuku selalu mengurungku dalam kebaikan," lirih Lia. Dia mulai merasakan tenang setelah menangis. Dilepaskannya pelukan.
Lia menunduk. Menyembunyikan wajah setelah menangisnya dari Brian. Tangannya mengambil tisu dan mengelap seluruh air mata yang menghiasi wajahnya juga cairan kental yang keluar dari hidungnya.
"Kau sudah merasa lebih baik?" tanya Brian.
"Sudah." Lia mengangkat kepalanya. Rambutnya yang lembab karena keringatnya, membuat Lia merasa panas. "Terimakasih. Kau telah membantuku untuk menghancurkan tabungan emosi tersebut."
"Tak masalah. Kita adalah manusia yang hidup sosial. Jangan sendiri jika menangis, panggil aku. Aku bisa datang, untukmu."
TBC
Jumat, 27 November 2020.
Publikasi: 21 Januari 2021.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ms. Money (END)
Teen FictionIni tentang Lia yang menjadi gadis pecinta uang. Seringkali dia memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan uang, salah satunya adalah memanfaatkan seorang pria kaya yang akan diambil uangnya. Niatnya ingin memanfaatkan, justru menjadi sebaliknya. Li...