Part 20

800 72 32
                                    

Kalau ada typo, tandai ya.

412

🍭

🍭

🍭

Mukena yang Lia pinjam dari masjid, ditaruhnya lagi ke dalam lemari yang tersedia. Lia menghela napasnya lega, setidaknya hati ini terasa sangat lega setelah mencurahkan seluruh keresahannya kepada Tuhan.

Lia menatap ke arah langit. Kilat Aurora yang terus menyinari bumi, membuat Lia sedikit takut. Takut, jika ada petir yang menyambar nya, meski Lia sendiri sering membaca artikel bahwa Kilat Aurora tak pernah sedikitpun mengeluarkan petir.

Di lihat ke langit, tak ada sedikitpun ciri-ciri akan datangnya hujan, hanya saja Lia dapat merasakan angin yang lebih sejuk dari biasanya, yang berarti akan datang hujan lebat atau hanya gerimis saja.

Tak ingin mendapatkan serangan air dari atas langit, Lia terburu-buru berjalan. Tak ingin meneduh di Masjid atau bahkan di bawah pohon yang dapat menyambarnya, kapan saja. Dapat Lia rasakan setetes air telah mendarat sempurna di ubun-ubunnya.

Untuk sementara, kecepatan air jatuh sangat lambat. Namun, seiring berjalannya waktu, kecepatan tersebut semakin tinggi. Beruntung, sebelum mendapatkan serang yang bertubi-tubi, Lia sudah berhasil sampai di rumahnya.

Pintu dipastikan terkunci dan Lia akan tidur diluar. Sedikit rasa takutnya akan petir, tetapi Lia cepat berdoa agar petir tak menyambar dirinya.

Duduk di dekat pintu, berusaha menghindari tetesan air yang mendekatinya. Lia meringkuk, kakinya dipeluk dengan erat. Seolah organ tubuhnya bekerja sama untuk mengatasi suhu yang sangat rendah sehingga kulitnya terasa dingin.

Lia hanya bisa melihat ke arah gerbang. Sebuah motor ninja berhenti, Lia tak mengenali motor siapa pengendaranya. Ada dua orang yang berada di atas motor tersebut, pengemudi dan penumpang. Penumpangnya turun langsung melepaskan helm. Rambut yang terurai dengan panjangnya, Menandakan kalau orang itu berjenis kelamin wanita.

Sebelum penumpang itu berbalik, Mereka sempat berciuman dulu. Lia meringis kecil, dari belakang saja, Lia sudah tahu siapa penumpang itu, Lisa. Wanita yang menjadi adik tirinya, bahkan usianya masih remaja dan pulang pada malam hari, Lia tak habis pikir. Jika saja dia memegang gadgetnya, dapat dipastikan kalau Lia akan memotret kejadian tersebut.

Lisa tertawa kecil bersama kekasihnya, lalu dia melambaikan tangannya saat kekasihnya pergi. Lisa berbalik, tubuhnya menegang kala melihat Lia yang duduk di depan rumah dengan rambut terurai. Dia menggeleng pelan, baru saja otaknya berpikir kalau Lia adalah seorang hantu karena penampilannya yang sangat menyeramkan.

"Mengapa kau duduk di depan? Seperti kuntilanak saja," ucapnya.

Lia tak menjawab. Tak begitu peduli dengan pertanyaan Lisa, pasti adik tirinya itu tahu apa alasan yang membuatnya harus di depan rumah dengan cuaca yang tak baik.

"Membuat masalah lagi? Astaga, Kau memang tak ada habis-habisnya membuat masalah," ucap Lisa. Dia membuka gadgetnya, mengirimkan pesan untuk membukakan pintu. Tangannya kanannya terus menekan tombol bel, agar setidaknya ada yang ingin membukakan pintu untuknya. Lisa tak ingin seperti Lia yang dihukum tidur di luar, apalagi saat cuaca sedang dalam tak baik seperti ini.

Terdengar bunyi kunci yang terbuka. Lisa merasakan kelegaan saat melihat Bibi Siti yang telah membukakan pintu untuknya, bukan ayahnya. Sebelum Lisa masuk, terlebih dahulu Lia menarik tangan wanita itu.

"Ada apa?" tanya Lisa dengan kesalnya. Dia menghempaskan tangan Lia dan mengelapnya dengan tisu, seolah Lia adalah sebuah kuman yang harus dihindari.

"Berhati-hatilah dengan pergaulan bebas. Kau sudah sangat nakal, saat ini." Mendengarnya, membuat telinga Lisa terasa panas, dia langsung masuk dan tak memperdulikan ucapan Lia.

"Sudah untung ku nasihati, tetapi lagak dia seperti itu," ucap Lia. Dia juga mengelap telapak tangannya. Memang Lia tak jijik juga menyentuh Lisa? Tentu saja sangat jijik.

Lia jadi teringat dengan Stella. Di mana Lia sudah sering tak memperdulikan nasihat Stella. Apa Lia juga sama dengan Lisa? Sama-sama keras kepala dan tak ingin mendapatkan kritik juga saran?

"Setidaknya Aku jauh lebih baik daripada remaja sialan itu."

***

Pagi dengan suhu yang rendah, membuat siapa saja malas beraktivitas. Angin segar membuat mata menjadi lebih berat daripada biasanya, ranjang seolah menghipnotis tubuh menjadi lebih lemah dan tak kuat untuk bangun.

Hujan rintik-rintik dari semalam pun belum berhenti. Kubangan air di jalanan, membuat siapa saja harus berhati-hati.

Wanita yang masih terduduk di depan rumah mewah itu, menundukkan kepalanya, tertidur seraya meringkuk hanya untuk melindungi diri dari suhu yang jahat untuknya. Bunyi aktivitas yang dimulai, membuatnya terbangun.

Perlahan, Lia mengangkat kepalanya. Desahan kecil keluar dari bibir mungilnya, saat dirasakan nyeri pada lehernya. Posisi salah tidur, membuat tubuhnya terasa sakit. Karbon dioksida yang keluar dari hidungnya, terasa hangat, begitupun tubuhnya yang menghangat.

Saat ini, Lia yakin bahwa Dia terkena demam. Dunia seakan berputar, gaya gravitasi seolah menghilang. Tenggorokannya yang kering, membuat Lia tak bisa mengeluarkan suaranya.

Bunyi pintu terbuka, memasuki pendengaran Lia. Hanya dengan lirikan mata saja, Lia dapat melihat Clara yang saat ini tengah memeluk tangannya sendiri.

"Bangunlah, jangan jadi gadis malas yang bangun di siang hari."

Karena tak ada tenaga, Lia tak menjawab ucapan Clara. Lebih baik untuk dirinya, mengumpulkan tenaga untuk bangun dan berjalan.

"Dasar anak tak tahu sopan santun. Menundukkan jika melewati orang tua."

Lia jalan dengan susah payah. Tangannya selalu menjadikan tembok untuk bersandar, agar tak terjatuh. Lia harus menaiki tangga untuk sampai ke kamarnya.

Saat Lia melihat Ayahnya yang berjalan ke arahnya, Dia langsung tersenyum dan hendak menyapa. Namun, sebelum suaranya keluar, Reza sudah lebih dulu melewatinya. "Selamat pagi, Ayah." gumam Lia, tak peduli jika ayahnya sudah tak ada lagi di depannya.

***

Jam sudah menunjuk ke arah 6.30. Inilah akibatnya jika Lia terlambat bangun dan juga dia yang bersiap-siap sangat lama. Tubuh Lia begitu lemah, sehingga jalan saja cukup sulit.

Untung saja masih ada makanan yang kemarin Brian belikan untuknya, bisa dijadikan sarapannya. Sangat terkejut dirinya saat melihat begitu banyak makanan yang ada dalam plastik. "Pantas saja plastiknya besar," ucap Lia. Entah Dia yang bodoh atau Brian pintar menipunya.

Untuk makan pagi ini, Lia akan makan nasi goreng sisa Brian kemarin. Meski sudah tak hangat yang dapat mengurangi rasa nikmat, Lia tetap menghabiskannya.

Setelah sarapannya habis, Lia membuang bekas tempatnya di kotak sampah. Keluar dari rumahnya, menunggu kedatangan Brian.

Kali ini, Lia sangat berharap kalau Brian menjemputnya. Tak peduli dengan uang 50.000 yang bisa didapatkannya jika Brian tak menjemputnya, saat ini Lia hanya ingin sampai di sekolahnya dengan cepat.

Pintu gerbang terbuka, Lia memojokkan tubuhnya, agar tak ketabrak mobil. Mobil berhenti di depannya, Lia menatap dengan anehnya. Hatinya bertanya-tanya, 'apakah Ayah berniat untuk mengantarkan aku?'

Kaca mobil menurun, terlihatlah Clara yang tersenyum manis dan lembut pada Lia, di samping Clara terdapat ayahnya yang hanya fokus dengan tabletnya. "Mengapa wajah mu pucat? Kau sakit?"

"Tidak," jawab Lia sekenanya saja.

"Jika begitu, jangan lemas. Kau terlihat seperti tak niat sekolah, padahal ayahmu ini sudah bekerja dengan lelah untuk menghasilkan uang agar kau bisa sekolah dengan benar. Cobalah untuk menghargai perjuangan ayahmu."

Lia hanya bisa mengepalkan tangannya dengan kuat. Senyum dengan penuh terpaksa terbit di wajahnya.

Saat mobil telah pergi, Lia baru bisa mengumpat dengan sepuasnya.

"Cih, bahkan kau saja tak membiayakan uang sekolah ku."










TBC

Minggu, 22 November 2020.

Publikasi: Senin, 21 Desember 2020.

Ms. Money (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang