Part 24

730 69 32
                                    

Kalau ada typo, tandai ya.

475

🍭

🍭

🍭

"Kita lihat. Setelah selesai makan nanti, aku yakin kalau kau akan merasakan panas di tanganmu," ucap Lia.

Brian tampak tak begitu peduli. Dia tetap melanjutkan makannya. Bahkan setelah banyak sambal yang dimasukkannya dalam nasi, tak membuat bibirnya menebal atau bahkan matanya mengeluarkan air. Lia mengeram kesal, dia tak ingin kalau Brian kalah dalam tantangannya, meski Brian saja belum menyetujui tantangannya.

"Katakan apa yang aku dapat jika aku menang dalam kompetisi ini dan yang ku lakukan jika kalah!" Brian berucap. Ada rasa ketertarikan tersendiri dalam dirinya saat Lia menantangnya seperti ini.

"Jadilah kekasihku saat kau kalah."

Makanan yang ada dalam mulut Brian langsung tertelan secara spontan, membuat Brian terbatuk-batuk. Brian mengambil tisu dan untuk mengelap mulutnya. Lalu, menatap Lia dengan tak percayanya. "Kau menembak ku?" tanya Brian dengan susah payah. Dia menggeleng tak percaya, dalam hidupnya baru kali ini ada seorang wanita yang menebaknya dengan tampang biasa saja. Tak malu-malu atau bahkan merasa gelisah.

Lia memang beda.

"Tidak, menembak juga, sih. Namun, ini adalah sebuah persyaratan."

"Lalu, apa yang ku dapatkan jika Aku menang."

Lia tampak berpikir sejenak. Dia tak boleh memilih sebuah hukuman yang bisa saja menjatuhkannya suatu saat ini. "Aku akan menuruti ucapan mu." Sekilas, Lia bisa melihat raut bahagia yang tercetak jelas di wajah pria itu. "Namun. Maksudku tak dalam artian sesuatu yang melewati batas. Misalnya, kau tak boleh memaksaku untuk melakukan sesuatu yang sangat jahat, itu tak boleh. Bagaimana?"

"Tak apalah. Kebetulan selama ini aku sedikit susah tinggal di sekolahmu. Jadi, aku akan menjadikanmu pembantuku nanti, kalau aku menang."

Sepasang manusia itu, menyetujui sebuah persyaratan yang dibuat melalui lisan tanpa adanya hitam di atas putih. Memang penting? Menurut mereka, menulisnya sangat tak penting. Apalagi harus menghabiskan waktu. Yang ada nantinya tangan Brian sudah merasakan panas dulu sebelum menandatangani materai.

Memakan dengan hikmat. Beberapa kali, Lia akan melihat tangan Brian yang mengambil nasi yang tercampur sambal. Harapannya hanya satu, yaitu Brian dapat kalah. Lia mengambil paha ayam goreng, mencoleknya dengan saos sambal dan melahapnya.

Nasinya telah habis dan Lia tak ingin menambah. Punggungnya bersandar di kursi. Lia melihat perutnya, sedikit membuncit. 'Sudah berapa lama zku tak olahraga?' Hati Lia bertanya-tanya. Lia menggeleng, Dia sangat tak suka jika tubuhnya gemuk. 'Nanti aku akan olahraga saja.'

Mengangkat kepalanya, Lia melihat Brian yang telah selesai makan. Saat ini, dia tengah meminum jus alpukat.

"Sampai sekarang aku bahkan tak merasakan panas di tanganku." Lia hanya mengangguk saja. Memang rasa panas akibat sambal akan bereaksi cukup lama.

"Tinggal menunggu waktu saja. Sekitar 10 menit, Aku yakin tanganmu pasti akan panas."

Mereka saling menatap. Lia dengan sebuah tantangan terbesarnya, memliki sebuah harapan. "Jika kau kalah. Maka bersiaplah, sebentar lagi kau akan menjadi milikku." Lia terkekeh pelan. Entah dari mana dirinya menemukan kata-kata tersebut. Kata-kata yang terkenal dengan hak klaim atas sesuatu.

Mungkin, Lia akan di cap sebagai wanita gila karena mengklaim seorang pria. Namun, apa Lia pernah mendengar kata malu atau semacamnya? Dia bahkan tak begitu peduli dengan setiap ucapan yang menusuk untuknya.

Hidupnya adalah miliknya. Tak ada seorangpun yang boleh menghakiminya, mengurusinya atau bahkan ikut campur dalam urusannya. "Huh. Aku tak sabar menjadi kekasihmu," ucap Lia seraya mengambil mentimun. Makanan yang biasa menjadi lalapan itu, salah satu jenis sayuran yang cukup Lia sukai karena kandungan air yang cukup banyak.

"Apakah kau menyukai ku," hanya Brian dengan sangat penasaran. Melihat Lia yang begitu bersungguh-sungguh dalam ucapannya, seperti wanita yang tengah terobsesi pada sesuatu.

"Aku hanya menyukai sesuatu yang kau miliki." Lia menaikturunkan alisnya, berusaha menggoda Brian yang tengah mencari jawaban dari ucapan penuh teka-teki Lia.

Bagi Brian, Dia adalah pria yang sempurna. Tampan? Tentu, kaya? Jangan ditanya, Kekuasaan? Ada di mana-mana. Lalu, apa yang Lia sukai dari miliknya. "Pasti karena ketampanan ku juga kehebatan ku dalam mengambil kekuasaan di jalanan," ucap Brian. Kebanyakan wanita yang ditemuinya, lebih menyukai ketampanan Brian yang memiliki darah Australia. Brian juga memiliki geng motor yang cukup ditakuti karena keberingasannya.

"Ketampanan?" Lia melihat setiap jengkal wajah Brian. Memang benar adanya kalau pria itu cukup tampan, apalagi bagian alis kanan yang terbelah, membuatnya seperti seorang Bad Boy.

Lia menggeleng pelan. "Aku tak menyukai ketampanan mu. Aku juga tak menyukai kenakalan mu yang seperti setan."

"Setan, kau bilang!" Nada suara Brian naik satu tingkat, membuatnya seperti membentak Lia. "Hey. Jaman sekarang, kelakuan seperti ku ini sudah hal biasa. Berantem dan saling menghancurkan demi kekuasaan."

"Terus bedanya dengan setan apa?" Melihat Brian yang terdiam dan belum menemukan jawaban atas pertanyaannya, membuat Lia senang sendiri. "Jangan membiasakan sesuatu yang salah. Salah akan tetap menjadi salah, mau itu di jaman dulu atau sekarang.

"Sudahlah, mengapa kita menjadi mempermasalahkan kenakalan aku, lagian kau juga tak jauh beda denganku, pembuat kekacauan juga. Sekarang, katakan apa yang kau sukai dariku selain ketampanan dan kekuasaan." Tangan Brian bergerak tak tenang. Dia menyembunyikannya di bawah meja, agar pergerakannya yang gelisah tak ketahuan oleh Lia.

"Aku bukan pembuat kekacauan. Lalu, aku juga tak akan memberi tahu alasannya. Lagian, kalau kau berpikir, pasti ketemu alasannya." Tak melihat keberadaan tangan kanan Brian, membuat Lia menjadi curiga. "Ada apa dengan tangan kanan mu? Tunjukkanlah!"

"Tak apa." Benar apa yang Lia katakan, saat ini tangan Brian sudah menjadi panas seperti tengah disiram air panas saja. Mungkin lebay, tetapi ini adalah kali pertama untuk Brian merasakan panas di tangannya.

"Ya sudah kalau begitu." Lia melipat tangannya di dada, seraya melihat Brian secara intens. Mungkin, nanti Brian tak akan kuat menahan panas di tangannya. "Kau tak boleh beranjak untuk membasahi tangan," ucap Lia saat melihat Brian yang akan ke keran.

"Mana bisa begitu. Tanganku masih kotor dan harus pakai sabun untuk membersihkannya." Brian menunjukkan tangannya yang terlihat sudah bersih karena air dalam kobokan. Namun, dengan alasan tak memakai sabun, dia ingin cuci tangan lagi.

"Tidak bisa. Kau harus tetap di sini. Kalau panas maka katakanlah. Jangan disembunyikan."

Brian menggeleng pelan. Dia tetap kekeuh dengan prinsipnya. Tak peduli dengan rasa panas di tangannya, berusaha Brian tahan.

Namun, semakin lama Brian tahan, semakin lama Brian berusaha untuk tak peduli, rasa panasnya semakin memakan tangannya. Akhirnya, Dia menghela napas dengan kasarnya. "Baiklah, tanganku memang panas saat ini."

Lia menyeringai. "Sana rendam tangan mu sepuas mungkin. Agar rasa panasnya hilang." Bria beranjak. Dia sedikit lega kala air yang dingin menyentuh permukaan kulitnya. Sebuah tangan menghinggapi bahunya disusul dengan suara bisikan.

"Saat ini, kau harus menjadi milikku."









TBC.

Senin, 23 November 2020.

Publikasi: Jumat, 25 Desember 2020.

Ms. Money (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang