Kalau ada typo, tandai ya.
250 ⚡
🍭
🍭
🍭
"Lia, kebetulan kemarin Toko sangat ramai, aku mendapatkan uang lebih. Ibuku mengatakan kalau Aku harus mentraktir mu. Ayo, kita ke kantin." Lia langsung mengangkat kepalanya. Setelah dari tadi Dia merasa depresi karena lupa membawa bekalnya, saat ini Lia seperti mendapatkan tambang emas setelah mendengar ucapan Stella.
Raut wajah Lia berubah menjadi bahagia. Dia mendekati tubuhnya ke arah Stella. "Ayo. Aku sudah sangat lapar. Mengapa kau tak menawariku sejak tadi, sih."
"Aku tadi membaca buku ini sampai habis dulu. Lagian juga waktu istirahat masih sangat panjang." Stella memasukkan bukunya ke dalam tas nya dan tak lupa mengunci resletingnya, agar tak ada yang mengambilnya.
Bagi seorang Stella, buku adalah surga dunia nya. Jika bukunya hilang, maka Stella akan merasa berada di neraka. Oleh karena itu, Stella sangat posesif kepada buku-bukunya.
Lalu, Mereka keluar dari kelasnya. Lia melihat berita yang ada di Mading, tak ada berita bagus ataupun yang bermanfaat untuknya. "Mengapa tak ada lomba melamun terlama saja, ya. Aku pastikan akan menang dan mendapatkan mendali emas," ucap Lia seraya melihat ke arah poster lomba menulis cerpen antar kelas. Hadiah yang ditawarkan, cukup besar, membuat Lia tergiur.
"Kau sama seperti Nobita. Bedanya, Nobita berharap adanya lomba tidur singa, kau justru lomba melamun."
"Nobita? Siapa itu?"
Stella tersenyum kesal kepada Lia. Ke mana saja masa kecil Lia selama ini? Nobita saja tak diketahui. "Sejak kecil kau tak suka nonton televisi?"
"Pernah. Aku hanya menonton Spongebob saja" ucapnya. Mereka melanjutkan perjalanan, karena tak ada lomba yang pas untuk Lia.
"Pesan moralnya apa?"
"Kau bertanya pesan moral? Aku pun tak tahu, dalam film itu Aku hanya berfokus kepada plankton saja. Melihatnya yang licik berusaha mengambil resep rahasia, membuatku merasa senang. Dia sangat licik." Lalu, Lia membisikkan sesuatu kepada Stella. "Aku jujur, kelicikan Aku saat ini terinspirasi dari Plankton."
Stella hampir menjatuhkan rahangnya mendengar ucapan Lia. Tak pernah ditemuinya dalam hidup ini, seseorang yang menggemari peran jahat apalagi sampai terinspirasi. "Pantas saja, ku akui kelicikan mu itu. Namun, daripada Plankton aku lebih memikirkan bahwa kau seperti Patrick, yaitu orang yang bodoh."
"Mungkin Patrick bodoh. Namun, lihatlah, Dia bodoh dan hidupnya bahagia tanpa beban. Tak seperti Spongebob yang pintar memasak, tetapi dimanfaatkan oleh Tuan Krabs." Stella terdiam. Entah mengapa, perbincangan Mereka saat ini saling menyindir satu sama lain. Di mana perbedaan mereka yang mencolok itulah yang menjadi pembahasan saat ini.
"Kau mungkin benar," ucap Stella.
"Aku sangat bersyukur. Setidaknya, untuk perdebatan kita kali ini, dimenangkan olehku," ucap Lia dengan nada santainya. Tak seperti tadi, di mana setiap ucapan Lia penuh dengan penekanan.
Suasana kantin yang tampak riuh, dan hampir seluruh meja penuh. Terapkan, Mereka harus makan di meja yang kosong dan letaknya berada paling ujung. "Kau yang pesan, 'kan makanan, ya." Lia memainkan alisnya, untuk membujuk Stella yang bergerak.
"Sudah ku traktir. Lalu, Aku juga yang membelinya," ucap Stella tak terima. Melihat antrian yang begitu panjang pada beberapa penjual, membuatnya malas bergerak, begitu juga dengan Lia yang malas juga.
"Membantu seseorang itu mendapatkan pahala. Cepat, beli makanan, nanti kau tak mendapatkan pahala, lagi." Lia sedikit menyenggol sikut Stella, menyuruh wanita itu untuk cepat bergerak.
"Barang dalam keadaan seperti ini saja kau membicarakan pahala." Stella berucap dengan kesalnya. Dia langsung bangun dari duduknya, menuju ke seorang penjual mie ayam dan juga bakso, setidaknya tempat itu antriannya lebih sepi, dibanding dengan tempat yang lainnya.
Sedangkan, Lia tampak santai, seraya memainkan gadgetnya dan menyumpalkan telinganya dengan headset agar suara keriuhan di sini dapat terendam. Membuka media sosial dan melihat beberapa postingan yang menurutnya sangat menarik.
"Ini kali pertama untukku melihatmu di kantin." Lia mengangkat kepalanya saat mendengar suara tersebut. Brian yang berada di depannya, dengan senyum manis yang menggoda, di samping pria itu terdapat Dewi yang juga ikut tersenyum.
"Hai, Lia. Ini kedua kalinya Kita bertemu," ucap Dewi.
"Aku baru tahu kalau Kalian pernah bertemu."
"Tentu. Kita satu Sekolah saat ini, ada kesempatan untukku bertemu dengannya," ucap Lia. "Kalian akan duduk di sini?" tanya Lia. Dia tak tahu kalau ucapannya bisa saja menyinggung Brian atau Dewi. Karena memang Lia jarang bersosialisasi, jadinya Dia tak tahu banyak bentuk ucapan yang bersifat kasar dan lembut. Biasanya juga, Lia akan berbincang kepada Stella dengan ucapan yang kasar juga.
"Tidak. Aku hanya ingin menyapa mu saja," ucap Brian.
"Apakah kau nanti akan pulang bersama Lia lagi?" tanya Dewi kepada Brian. Sedangkan Lia tampak masih sangat fokus pada gadgetnya, Dia mengerti jika saat ini, sepasang manusia tersebut tengah asik berbincang dan tak ingin diganggu oleh siapapun.
"Tentu."
Mata Lia melotot mendengar ucapan Brian. Bayangan kejadian tadi pagi, memasuki pikiran Lia. Lia tak ingin kejadian tersebut terulang lagi. "Tidak. Aku bisa pulang menggunakan angkot."
"Mengapa? Daripada kau naik angkot, sudah buang uang dan waktu, lebih baik sama Aku saja naik motor, gratis dan pastinya akan cepat sampai tujuan."
Lia sempat tergiur mendengar kata gratis, membayar angkot cukup mahal juga untuk seukuran Lia yang hidupnya susah. "Namun, Aku tak ingin nyawaku harus terbayar jika ikut denganmu," ucap Lia. Akalnya masih berjalan dengan baik, sehingga Dia bisa menolak penawaran yang sangat menggiurkan itu.
"Memangnya kenapa?"
"Tadi pagi, Brian mengendari motornya seperti dikejar setan. Aku saja hampir jatuh tadi. Aku masih menyayangi nyawa ku ini." Dewi tertawa mendengarnya, baginya memang Brian cukup mengerikan saat mengendarai motor, tetapi saat bersamanya, Brian akan memelankan kecepatannya agar tak terjadi bahaya.
"Menurutku, tak seperti itu. Kau bisa meminta kepada Brian untuk memakai kecepatan yang rendah, maka aku pastikan kalau Brian akan langsung menuruti keinginanmu," ucap Dewi.
"Aku merasa tak yakin," ucap Lia. Dia menatap Brian, terlihat sekali pria itu bukanlah tipe pria yang akan menuruti ucapan orang lain. "Ngomong-ngomong, Kalian di sekolah ini berapa bulan?"
"Hanya 1 semester saja."
"Itu termasuk lama, yang ku tahu pertukaran siswa tahun kemarin, bahkan menghabiskan waktu 3 bulan di sekolah ini."
"Ya, memang itu cukup aneh. Namun, menurutku tak masalah, selagi Aku merasa nyaman di sini, ya, 'kan Brian?" Dewi menyenggol sikut Brian yang sedang asik dengan gadgetnya. Brian yang mengerti langsung mengangguk kepada Lia, meski Dia sendiri tak tahu apa yang sedang diperbincangkan oleh Dewi dan Lia.
"Aku ingin tahu, sebenarnya hubungan kalian itu teman atau sepasang kekasih?" tanya Lia. Sudah lama sekali dirinya ingin mengetahui jawaban atas pertanyaan ini, oleh karena itu, Lia tak akan membuang kesempatan untuk menanyakan langsung.
"Hanya teman biasa." Lia mengangguk mengerti. Tanpa sengaja, matanya menangkap wajah Brian yang tampak ...
Marah?
TBC.
Jumat, 20 November 2020.
Publikasi: Kamis, 10 Desember 2020.

KAMU SEDANG MEMBACA
Ms. Money (END)
Fiksi RemajaIni tentang Lia yang menjadi gadis pecinta uang. Seringkali dia memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan uang, salah satunya adalah memanfaatkan seorang pria kaya yang akan diambil uangnya. Niatnya ingin memanfaatkan, justru menjadi sebaliknya. Li...