Part 49

862 65 20
                                    

Kalau ada typo tandai ya

1,11 K

🍭

🍭

🍭

Tubuhnya basah, tentu saja. Hanya ada dia sendiri, diperjalanan yang begitu panjang. Lia tak tahu apakah dia akan kembali ke rumahnya atau tidak. Hatinya cukup sakit melihat ayahnya yang tak peduli, bahkan menuruti ucapan ibu tirinya. Namun, apa yang mau dikatakan? Lia juga tak bisa memohon supaya bisa bareng bersama mereka.

Mobil kotor? Alasan macam apa itu. Kalau kotor tinggal dibersihkan. Di sini Lia tahu, bahwa dirinya tak begitu penting dibanding dengan mobil yang mereka pakai.

Kaki Lia terasa sangat lemas sekali. Sangat susah berjalan, bahkan untuk berjalan saja dia susah. Lia menjatuhkan tubuhnya, menangis terisak kembali. Kepalanya menunduk, dia ingin sekali menjerit dan mengucapkan penderitaannya dalam kehidupan ini kepada dunia.

"Aku tak menyukai ini. Aku tak suka memiliki hati yang harus merasakan sakit disaat seperti ini. Lebih baik aku menjadi seorang yang tak punya hati sekalipun," ucapnya dengan lirihan. Lia membangunkan tubuhnya, matanya melihat ke arah depan ada sebuah masjid yang berdiri dengan kokohnya.

"Apakah ini kekuasaan-Mu? Aku akan selalu datang kepada-Mu disaat susah. Aku sangat malu sekali," ucap Lia.

Melihat banyak orang yang mulai berdatangan ke masjid, Lia melangkahkan kakinya dengan pelan. Setiap langkahnya terucap seribu kata syukur, dia merasakan ketenangan saat ini, padahal dia belum menunaikan shalat.

Lia menaruh sandalnya. Memasuki masjid. Tubuhnya yang basah menjadi penghambatnya untuk shalat. Lia takut kalau ada orang yang mmearahinya karena dalam keadaan seperti ini.

"Bersihkanlah tubuhmu dan gunakan baju ini," ucap seorang pria. Kepalanya yang dihiasi oleh peci membuat rambutnya tertutupi. Wajahnya yang cerah, menyebarkan aura positif. Tangannya memegang sebuah baju kaos dan celananya.

Lia sempat ragu. Namun, setelah dipikirkan lagi akan keadaannya, Lia langsung mengambil baju tersebut. "Terimakasih." Lia berucap. Sudut bibirnya terangkat, menatap pada pria yang masih belum dikenalinya sampai saat ini. Lia menuju ke kamar mandi. Dia hanya perlu mengganti bajunya. Untuk urusan tubuhnya yang basah, tak dipedulikannya.

Setelah selesai mengganti bajunya, Lia keluar dari kamar mandi. Menuju ke tempat mangembil wudhu, air yang mengalir dari keran terbawa oleh telapak tangan Lia menuju ke tubuhnya. Dari tangan hingga kaki. Segala doa, Lia ucapkan dalam hatinya. Selesai mengambil wudhu, Lia kini bingung menaruh baju pasien yang sebelumnya dipakai. Melihat keberadaan kotak sampah, Lia langsung membuangnya di kotak sampah.

Memasuki Masjid. Masjid yang sangat besar, bediri dengan dua lantai. Saat ini, Lia berada di lantai 1. Ada beberapa wanita yang kini sedang Shalat Sunnah, beberapa tas didekat mereka, Lia mengambil kesimpulan bahwa mereka dalam perjalanan yang mampir ke Masjid.

Lia mengambil peralatan shalatnya di dalam lemari yang telah disediakan. Tepat setrlah dirinya selesai memakai mukena, Shalat Ashar akan dimulai. Lia lalu mengambil tempat dan memulai sembahyang nya. Mengikuti gerakan imam melalui suara darinya. Setiap rakaat, Lia tetap fokus. Berusaha untuk tak memikirkan urusan duniawi yang begitu ribet.

Salam terlah diucapkan. Lia melepaskan mukena nya dan membenarkan tantanan rambut yang sanga acak-acakan. Dia kembali menaruh seluruh alat sembahyang nya di dalam lemari.

Udara sejuk setelah keluar dari masjid,membuat hati Lia tampak tenang. Hujan telah reda. Senyum kecil muncul di wajah Lia. Benar, 'kan apa yang diucapkannya? Kalau langit adalah penggambaran yang snagat tepat untuknya, disaat dirinya sedih maka langit akan menurunkan hujan. Disaat dirinya bahagia, matahari akan bersinar dengan teriknya.

"Hanya diri-Mu lah tempat ku berpulang. Mungkin, selama ini aku mengatakan kalau tak ada rumah untukku. Di situ, aku lupa kalau Kau selalu ada dan mengawasi diriku ini," gumam Lia. Dia masih menikmati semilir angin yang menerbangkan rambut lembabnya.

"Jika kau mengalami sebuah masalah, maka datanglah pada Allah. Karena sesungguhnya, kita yang membutuhkan Allah, bukan Allah yang membutuhkan kita.'' Suara itu, sebagai pencerahan hati Lia. Disaat awan memdung akan datang, maka ada angin kencang yang membawa pergi jauh awam hitam.

Lia berbalik. Melihat pada seorang pria yang baru saja membantunya. Pria itu berjalan mendekat, berdiri di depan Lia. Jarak antar mereka mungkin 70 centimeter. Senyumnya begitu lembut, membuat Lia terpana. "Aku melihat sepertinya kau memiliki masalah yang pelik. Kau datang ke tempat yang tepat."

"Terimakasih. Terimakasih karena kau telah membantuku dengan menbetkkan baju ini," ucap Lia.

"Tak masalah. Kebetulan aku baru dalam perjalanan bersama keluargaku dan baju yang kau kenakan adalah baju adikku.'' Pria itu melirik ke arah samping, di mana dua orang yang berusia setengah abad dan satu gadis yang mengenakan hijab tengah bercanda tawa. Dapat Lia duga kalau mereka adalah keluarga dari pria itu.

"Kalau aku boleh tahu, siapa nama mu?" tanya Lia. Tangannya mencubit bajunya, dia sangat gugup. Apakah dirinya salah telah menanyakan nama pria itu? Namun, Lia hanya ingin berkenalan saja dengannya, tak ada maksud lain.

"Daffa. Kau bisa langsung panggil namaku. Lalu, siapa nama mu?"

"Lia," ucapnya dengan kegugupan. Tangannya masih setia mencubit ujung bajunya, rasa gugupnya belum saja hilang. Apalagi saat melihat pria itu tersenyum dengan lembutnya, membuat hatinya meleleh.

Tak bohong, dia adalah tipe pria idama Lia.

"Daffa. Sini, Nak?"

Kepala Lia memutar sebesar sudut 90°, melihat pada orang tua Daffa yang memanggil.

"Aku akan ke sana dulu." Lia mengangguk. Dia melihat bagaimana keluarga itu berinteraksi. Tak ingin menganggu, Lia langsung memundurkan langkahnya.

Keluar dari masjid. Sebelum kakinya melangkah untuk pergi, Lia menengok ke belakang dulu. Daffa sedang tersenyum padanya, Lia membalas. Tangannya melambai. "Smeoga, suatu hari aku bertemu denganmu lagi." Lia berucap dengan nada suara yang kecil. Gerakan mulutnya, tentu diketahui oleh Daffa.

"Semoga aku juga bertemu denganmu, kembali.''

***

Lia menyusuri perjalanan hanya dengan diiringi shalawatan. Tangannya yang memegang gadget, terus mengeluarkan shalawat yang telah mengiringnya dalam perjalanan ini. Kakinya begitu ringan, tanpa disadarinya kalau Lia hampir sampai dengan rumah.

Atas bantuan GPS, Lia bisa sampai ke rumah dengan cepat. Tak ada rasa pegal di kakinya saat berjalan dengan sangat jauh. Lia sedikit malas dan takut memasuki rumahnya, kakinya bahkan harus dipaksakan untuk berjalan memasuki lingkungan rumah megah layaknya neraka untuknya ini.

Saat memasuki rumahnya, Lia melihat Tika. Penampilan wanita itu sangat berantakan, terdapat beberapa luka di tubuhnya dan juga rambut yang biasa tertata dengan rapih justru sekarang tampak acak-acakan. Apa yang terjadi dengannya? Kalau Lia lihat, akhir-akhir ini Tika selalu saja pulang dalam keadaan selerti itu. Apakah wanita itu ada masalah besar?

Lia ingin bertanya. Namun, dia ingat kalau dirinya akan mendapatkan pelajaran jika menacampuri urusan mereka.

"Jika mereka saja tak peduli denganku. Mengapa aku harus peduli?"










TBC

Sabtu, 28 November 2020

Publikasi: Jumat, 29 Januari 2020.

Ms. Money (END)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang