Kalau ada typo, tandai ya.
820
🍭
🍭
🍭
Lia sudah berada di ruang rawat inap nya. Dalam keheningan, Stella terus berjalan secara bolak-balik, tak tentu arah. Tangan kirinya memegang gadget yang mengarah ke indera pendengarannya. Sedari tadi, Stella menahan untuk tak mengumpat kepada siapapun. Ujian untuk emosinya sedang dicoba saat ini.
Sudah menelpon keluarga Lia puluhan kali, sayangnya belum ada yang menjawab panggilannya. Keluarga macam apa itu? Harusnya kalau sudah ditelepon secara berulang-ulang, mereka mengerti kalau ada urusan yang sangat gawat. Lia sedang sakit dan tak ada satupun dari mereka uang tampak begitu peduli.
Stella jadi membayangkan memiliki ayah seperti Reza. Dia tak habis pikir dengan Lia yang masih betah tinggal di rumah yang merupakan sangkar para Iblis tersebut. Kalau Stella menjadi Lia, dia akan pergi sejauh mungkin. Lagian juga, mereka tak memberikan biaya hidup untuk Lia, lalu apa yang bisa diharapkan dari mereka?
"Sialan. Mereka bahkan tak menjawab teleponku." Stella menjatuhkan tubuhnya di atas sofa. Rasa kesalnya masih ada. Matanya melihat Brian yang terdiam di atas kursi seraya menatap Lia. Pria itu menunggu Lia sadar, sampai saat ini wanita itu belum sadar juga.
Untuk menghubungi orangtuanya, Stella terpaksa menyalin nomor ayah Lia. Kemungkinan mereka tak ingin menjawab telepon karena mereka tak ingin berbincang langsung dengan Lia.
Sekali telepon. Hanya ada nada dering saja, menunggu sekitar 30 detik baru ada suara sapaan yang Stella yakini berasal dari ayah Lia. "Putrimu sedang sakit. Sedikit peduli lah, datangi dia. Jangan jadi ayah yang tak berguna karena anak kandungmu tak terurus." Stella langsung mematikan teleponnya. Dia menyebarkan lokasi rumah sakit kepada ayah Lia.
Stella beranjak, menuju ke ranjang Lia. Dilihat, tangan wanita itu mulai bergerak dan juga dia mengeluarkan suara. Melihat detik-detik wanita itu akan sadar. "Apakah kau baik-baik saja?" tanya Stella saat Lia sudah sadar sepenuhnya.
"Kepala ku masih pusing." Lia berucap dengan susah payah. Dia menengok ke arah meja di dekat ranjangnya. "Aku ingin air." Segelas air putih menggoda tenggorokan Lia yang sudah kekeringan sejak sebelum pingsan. Tangan Lia tak sampai untuk menggapai, hanya ada satu cara agar dia bisa minum, yaitu meminta bantuan.
Menaruh penutup gelas lalu Stella mengambil sedotan agar Lia mudah meminumnya. Wanita itu meminum dengan sangat cepat, bahkan satu gelas habis dalam waktu yang sangat singkat.
"Stella. Aku ingin pulang." Lia berucap. Dia sangat tahu kalau saat ini, tubuhnya sedang berada di rumah sakit. Bukan karena memiliki phobia akan rumah sakit, tetapi Lia tak ingin merepotkan siapapun saat dirinya sakit.
"Kau sedang sakit. Dokter menyuruhmu untuk tetap di sini sampai pulih. Tunggulah, aku akan merawat mu," ucap Stella dengan tulusnya. Keadaan Lia masih buruk, bahkan suhunya belum juga turun meski sudah dirawat. Jika tak diobati sekarang, maka akan menjadi penyakit di hari nanti atau bahkan sakitnya akan bertambah.
"Kau akan mendapatkan amukan dari kakak mu jika tak pulang," ucap Lia. Dia sangat tahu kalau kalanya begitu posesif kepada Stella. Bahkan setiap pulang terlambat saja, Stella bisa dihubungi beribu kali oleh kakaknya. Lia merasa, Stella sangat beruntung memiliki keluarga yang begitu menyayanginya.
"Aku sudah izin kepada kakakku dan dia tak mempermasalahkannya saat mengetahui alasan yang ku buat. Sudah, jangan khawatir. Kau harus tetap di rumah sakit.''
"Lalu, siapa yang akan membayar biaya rumah sakitnya?" tanya Lia. Dia tak memiliki cukup uang untuk membayar biaya rumah sakit. Seandainya Lia ada BPJS, mungkin akan mudah membayarnya. Keluarganya juga pasti tak sudi mengeluarkan uang hanya untuk membiayai Lia yang tengah sakit. Menengok saja sepertinya sangat enggan.
Stella menengok ke arah Brian. Pria itu telah berpindah tempat duduk, dia sedang berada di atas sofa. Senyum kecil muncul, sepertinya Stella telah ketularan virus uang Lia. "Apa guna kekasihmu? Dia memiliki uang yang sangat banyak. Membayar uang rumah sakit, mungkin tak akan sulit untuknya." Stella berucap seraya melirik ke Brian yang tampak biasa saja saat dia menyuruh Brian untuk membayarnya.
Lia yang tak menyadari keberadaan Brian, langsung mengikuti arah pandang Stella. Melihat pria itu yang asik mendengarkan curhatan mereka. Lia menepuk keningnya pelan, dia bahkan sudah keceplosan membicarakan sesuatu yang sangat privasi baginya. Lia mencubit tangan Stella pelan dan memberikan tatapan tajam pada wanita itu. "Kau bahkan tak memberitahu kalau ada Brian di sini." Lia berucap dengan suara yang sangat kecil, agar Brian tak mendengar suaranya.
"Aku lupa." Stella tersenyum gugup. Dia bahkan lupa kalau Brian ada di sini, karena pembicaraannya dengan Lia begitu serius.
Brian beranjak. Dia menghampiri Lia, wajahnya begitu datar, membuat Lia merasakan takut. "Aku yang akan membayar biaya rumah sakit juga yang akan menjagaku di sini."
Dengan cepat Lia menggeleng. Ucapan Brian sangat tak radikal dan akan merugikan untuk Lia. Bukan pada bagian dia yang ingin membayar rumah sakit, terapi saat Brian akan menjaganya. "Jangan. Tak baik sepasang manusia berada di ruangan sepi seperti ini," ucap Lia.
"Namun---"
"Aku tahu kamu sibuk. Kamu, 'kan memiliki geng motor, sebaiknya urus juga geng motor mu itu. Di sini sudah ada Stella yang menjaga ku.''
Brian melihat Lia sangat lama. Apa yang wanita itu katakan sangat benar. Sudah banyak panggilan dari Ardi atau Felix untuknya cepat datang ke markas. Malam ini, mereka akan kembali menguasai jalanan dan ikut balap liar. Akan sangat rugi untuknya jika tak mengikuti peristiwa malam ini.
"Aku memang akan ada urusan malam ini. Kebetulan hari masih sore. Aku ada kesempatan untuk menjaga mu sementara. Kau Stella ...." Brian menatap Stella. "Lebih baik pulang dulu. Nanti malam, sekitar jam 7 kau bisa ke sini."
Stella berpikir sejenak. Dia belum mandi atau bahkan berbicara langsung dengan orangtuanya. Mereka pasti cemas padanya. "Baiklah. Aku akan pulang dulu. Lia, nanti aku akan kembali lagi.'' Lia mengangguk. Dia melihat Stella yang masih mengenakan pakaian sekolahnya berbalik dan pergi dari ruang rawat inap nya.
Lia menghembuskan napasnya dengan lega. Tatapannya beralih ke arah Brian yang sedang tersenyum kecil padanya. Brian duduk di ujung ranjangnya.
"Apakah kau lapar?" Lia berpikir sejenak. Lidahnya terasa pahit dan percuma jika makan pun tak ada rasa di lidahnya.
"Tidak. Aku tak lapar," ucap Lia.
"Kau harus makan. Kebetulan aku sudah membeli bubur untukmu."
"Lalu, untuk apa kau bertanya." Lia berucap dengan menahan amarahnya.
"Untuk basa-basi saja." Brian mengambil plastik yang berisi bubur. Mengeluarkan tempat buburnya.
Lia meringis kecil saat melihat bubur. Aroma yang menyeruak, membuatnya merasakan muak.
"Aku tak ingin makan," ucap Lia.
Brian menyeringai. "Kalau kau makan, maka aku akan memberikan uang Rp. 500.000 untukmu, bagaimana?"
Jumat, 15 Januari 2021.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ms. Money (END)
Teen FictionIni tentang Lia yang menjadi gadis pecinta uang. Seringkali dia memanfaatkan orang lain untuk mendapatkan uang, salah satunya adalah memanfaatkan seorang pria kaya yang akan diambil uangnya. Niatnya ingin memanfaatkan, justru menjadi sebaliknya. Li...