Haechan jadi malu sekali rasanya. Melihat wajah yang kini bahkan mengabaikannya. Lebih memilih untuk melihat keluar jendela.
Ketika ia melihat ke arah lain, ada orang yang juga tengah ia pikirkan.
'Bagaimana bisa aku pindah ke sekolah ini?'
Merutuki nasibnya yang baru beberapa hari pindah ke sekolah ini sudah mendapatkan tambahan pikiran saja.
Menangis semalaman atau bahkan seharian? Dan kini berakhir dengan kedua matanya yang sembab. Karena itu, ada kacamata di wajahnya yang sangat amat membantu menutupinya.
"Terima kasih untuk hari ini"
Dan akhirnya kelasnya ditutup. Dengan langkah lunglai, iapun kembali ke ruang guru. Tak ingin menemui siapapun untuk sekarang. Ia belum siap.
Berjalan sudah seperti tidak ada tenaga saja. Dengan pandangan kosong yang bahkan ia melewati ruangan yang seharusnya ia tuju.
"Kenapa aku disini?" gumamnya tanpa sadar.
Menoleh ke kanan dan ke kiri untuk melihat sekitar. Sepi. Tempat yang sangat cocok pikirnya.
Mengambil duduk di atas rumput hijau dan bersandar di dinding belakangnya. Meringkuk disana, melempar asal kacamatanya dan menangis setelahnya.
Lagi. Entah berapa banyak sisa air matanya sekarang. Membodohi dirinya sendiri yang baginya saat ini bersikap tak masuk akal. Membodohi dirinya sendiri karena tak pernah mendengar apa kata sang Ibu.
Menyesal.
Ya, penyesalan tak pernah datang di awal.
"Kau masih sama. Cengeng"
Hingga suara rendah terdengar di telinganya.
Dengan wajah yang masih basah, juga isak tangis yang tak bisa hilang dengan mudahnya, Haechanpun mendongak. Melihat siapa gerangan yang mengatainya cengeng.
Melihat siapa yang menghampirinya, Haechanpun langsung-
"Jangan memelukku! Kau tak ingat kalau aku membencimu?!"
"HUEEEE! Maafkan aku! Maafkan aku!"
Tak menanggapi ucapan orang itu dan memilih tetap memeluknya dengan erat. Menumpahkan air matanya disana.
"Ibumu tak pernah mengajarimu tata krama?! Jangan memeluk orang lain seenaknya!"
Dihempaskannya tubuh kecil Haechan yang langsung kembali meringkuk dan menangis lebih kencang. Di atas rerumputan.
"Dery...hiks"
"Aku tak sengaja lewat sini, jadi aku akan pergi"
"Maaf...hiks...maaf"
Haechan terus saja meracaukan kata itu. Kata yang seharusnya ia ucapkan sejak dulu, namun egonya kalah jauh hingga membuatnya menyesal sekarang.
"Maaf Dery... Hiks... Maaf Dad... Hiks... Maaf Mom... Hiks..."
Jeda sebentar,
"Maaf.... Mark... Hiks"
Harusnya ia bisa mengatakannya langsung pada yang bersangkutan. Bukan hanya menangis sendiri seperti sekarang.
Seperti anak kecil.
"Kenapa kau meminta maaf padaku? Kau menyesal sudah memilih orang itu? Orang yang membuatmu semakin buruk"
Haechan mendongak. Tersenyum kecil saat melihat sosok yang masuk ke dalam satu dari beberapa nama yang baru saja ia ucap.
"Tidak. Aku tidak pernah menyesal memilih hidup bersama Mom. Aku meminta maaf karena tidak bisa lagi menjagamu karena perpisahan itu. Aku menyesal karena tidak bisa bersama dengan Dery lagi"