Haechan menikmati sarapannya dengan tenang. Sendirian. Di ruang makan yang begitu besar ini.
"Nanti aku akan sarapan lagi dengan Mark dan Minnie" ujarnya.
Ya, Haechan bangun terlalu pagi. Dan sudah lapar saja. Untungnya sang mertua yang baik hati mau memasakkan makanan untuknya. Hanya memasakkannya saja dan kini mertuanya itu tengah mengurus cucunya. Minhyuk yang juga ikut terbangun karena ulah Haechan.
"Lalu sarapan lagi dengan Bubu dan Ayah. Hihihi"
Menyuap lagi makanan lezat yang menjadi favoritnya. Apapun yang mertuanya masak, ia menyukainya. Semuanya.
Berapa kalipun ia makan pagi ini, asal masakan dari sang mertua, Haechan tak akan bosan menikmatinya.
"Oh ya, nanti-"
Ucapan Haechan terpotong saat ia merasakan sesuatu.
Menghentikan acara makannya yang sudah hampir selesai itu, kemudian menunduk.
"Hm?"
Menyentuh perutnya sendiri dengan lembut. Dan diam.
Tak dirasakan apapun setelahnya.
"Kita habiskan ini dulu ya?"
Mengajak bicara sosok yang belum terlahir ke dunia itu. Kembali makan dengan tenang. Tak bicara lagi setelahnya.
Setelah menyelesaikan sarapan pertamanya, membereskan meja dan merapikannya kembali, Haechanpun kembali ke kamar.
Hanya ada Mark disana. Minhyuk berada di kamarnya sendiri.
Memang ada box bayi di kamar ini, itu karena Haechan yang masih memaksa agar Minhyuk tidur di kamar mereka.
Kamar Minhyuk sendiri hanya digunakan sebagai area bermain, mandi dan tempat meletakkan perlengkapan bayi itu saja. Mungkin kalau hanya tidur siang, sesekali si bayi akan menempati kamarnya sendiri.
Haechan berbaring kembali di kasur besar itu. Menghadap ke arah sang suami yang masih terlelap. Benar-benar terlelap dengan bunyi dengkuran lembut disana.
"Mark... Mark..."
Haechan menyentuh area bawah hidung sang suami. Dimana ada rambut tipis disana. Kumis tipisnya.
Menggerak-gerakkan jemari lentiknya disana.
"Hihihi... Mark semakin dewasa dengan kumis tipis ini"
Kemudian berpindah ke bawah bibir sang suami.
"Disini juga tumbuh rambut tipis. Hihihi... Geli, Mark"
Padahal dia sendiri yang bergerak-gerak disana, dia sendiri pula yang kegelian karena bersentuhan dengan rambut tipis itu.
"Kau sedang apa sih?"
Sebuah tangan menggenggam jemari lentiknya. Tangan yang lebih besar dan lebih berotot.
"Menyentuh wajah tampannya Mark. Hihihi"
"Tawamu menyeramkan"
Mencebik, Haechanpun menepis tangan sang suami yang masih menggenggamnya. Kesal tiba-tiba.
"Kenapa sudah bangun? Ini masih pagi"
"Aku lapar"
Mark melirik ke arah jam dindingnya. Masih terlalu pagi pikirnya.
"Tapi aku sudah makan, Mark. Bubu yang memasak" lanjut Haechan.
"Ya sudah, tidur lagi saja"
Sebelum kedua mata itu kembali tertutup, Haechan buru-buru memaksanya kembali terbuka. Ia tidak mengantuk, dan ia ingin Mark menemaninya.