49. Hanya Satu

117 12 6
                                    

Ia membuka kelopak matanya perlahan, ruang serba putih terlihat di indera penglihatannya. Bau obat-obatan menyeruak ke dalam hidungnya. Aldifa menyimpulkan ia ada di rumah sakit. Tapi, apa yang terjadi?

Aldifa bangkit untuk duduk. Tidak ada siapapun di kamar rawatnya, hingga suara pintu yang dibuka mengalihkan perhatiannya. Kelvin dan Kalea terlihat di sana.

"Aldifa!" Kalea dengan mata sembap berlari kecil ke arah Aldifa. Ia memeluk satu-satunya sahabat yang ia miliki. "Ada yang sakit? Apa perlu gue panggil dokter?" tanyanya setelah melepas pelukan mereka.

Aldifa menggeleng, ia masih mengingat apa yang terjadi sebelumnya. Sampai tiba-tiba kepalanya terasa sakit, kejadian mobil Alfin yang terjatuh terekam jelas di pikirannya. Seketika tangisnya kembali pecah. Ia tidak tahu kabar mereka apakah selamat atau... Aldifa menggelengkan kepalanya tidak ingin berpikiran buruk.

"Kenapa, Dif ada yang sakit?" tanya Kalea.

Aldifa menatap Kelvin dan Kalea yang berdiri di sampingnya. "Alfan sama Alfin, mereka selamatkan?"

"Kita nggak tahu, mereka masih ditangani dokter," jawab Kelvin setenang mungkin. "Tapi lo nggak usah khawatir, mereka dibawa ke rumah sakit dalam keadaan masih bernapas kok."

Aldifa menghela napas lega. Sedangkan Kalea menyikut Kelvin, sarkas sekali perkataannya mereka dibawa ke rumah sakit dalam keadaan masih bernapas. Ck ck. Kurang ajar, bukan? 

***

Kalea mendorong kursi roda Aldifa pelan, ia mendengus sebal. "Dif, balik aja ke kamar lah. Tar bisa diomelin kita."

"Ngga Kal, gue mau liat kondisi Alfan sama Alfin."


"Mereka lagi dioperasi, Dif,"

Aldifa menegang, "Kecelakaan nya separah itu sampai harus dioperasi?"

PLAK

Suara tamparan yang begitu keras terdengar di lorong rumah sakit ketika Aldifa dan Kalea berbelok. Kalea memberhentikan langkahnya karena terkejut siapa yang menampar siapa.

Saat ia akan kembali mendorong kursi roda. Aldifa menahan nya, "Biar kita denger dari sini aja."

Kalea mengangguk ia mendorong kursi roda mundur, bersembunyi dibalik belokan lorong.

"Lo kenapa sembunyiin ini semua dari kita, Anggi?!" suara Bintang terdengar marah dan menyesakan.

"Sayang udah ya, kita bahas ini lagi nanti." Sekarang suara papanya, Rafa. Mencoba menenangkan Bintang.

Aldifa memajukan badannya agar bisa melihat apa yang sebenarnya terjadi.

"Nggak bisa!" Bintang menatap Anggi tajam. "Lebih dari tujuh belas tahun lo sembunyiin ini? Mana amanah lo yang dikasih Tuhan buat ngerawat anak lo sendiri?!"

"Sekarang kedua anak lo kritis. Dan salah satunya belum pernah dapet kasih sayang dari lo!" Bintang mengusap air matanya kasar. "Kalo gue tahu Alfan anak lo yang lo buang, gue bakal rawat Alfan kayak anak gue sendiri."

"Gue nggak ngebuang Alfan, Bin. Gue—gue cuma titipin dia di panti asuhan."

"Sampai tujuh belas tahun, iya?! Lo titipin dia sama orang lain sampai tujuh belas tahun? Itu bukan nitipin, Nggi. Tapi lo ngebuang anak lo sendiri. Mana cinta lo buat anak lo sendiri sampai rela buang Alfan—"

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang