Hari Senin
Seorang gadis berumur lima belas tahun berjalan di koridor dengan tangan dimasukan ke dalam saku jaket berwarna merah. Saat memasuki kelas, langkahnya terhenti ketika melihat seorang laki-laki duduk di kursi sebelahnya. Tidak ambil pusing, gadis itu pun berjalan menuju mejanya, dimana satu meja untuk dua orang.
Tas hitamnya disimpan di atas meja. Lalu, duduk bersebelahan dengan seorang laki-laki yang belum ia kenal. Matanya menatap intens laki-laki di sebelahnya lalu, tersenyum manis.
"Anak baru ya?" Yang ditanya hanya mengangguk. "Kenalin, nama aku Aldifa, nama kamu?"
Gadis bernama Aldifa itu mengulurkan tangan kanannya, senyum manisnya tak lepas dari wajah cantiknya.
Laki-laki yang dari tadi hanya fokus dengan buku bahasa asing, menoleh ke arah Aldifa. Ia melihat Aldifa dan tangan yang diulurkan Aldifa bergantian. Setelah lebih dari tiga detik, laki-laki itu pun membalas uluran tangan Aldifa. Wajahnya tetap datar, tidak ada ekspresi sedikit pun.
"Alfin."
Laki-laki bernama Alfin itu melepas jabatan perkenalannya dengan Aldifa, begitu juga Aldifa.
"Wah, seneng banget punya teman sebangku. Di kelas ini muridnya ganjil. Dan yang kebagian duduk sendiri aku. Miris kan?" Aldifa tiba-tiba cemberut, mengingat keseruan teman-temannya yang mempunyai teman sebangku.
Alfin tidak menggubris. Ia menoleh pada Aldifa. "Nggak upacara?"
Aldifa tertawa pelan. "Mau upacara sambil diguyur hujan? Kalau yang belum mandi sih nggak masalah. Tapi yang udah mandi bermasalah."
Mendengar penuturan Aldifa, Alfin melihat ke jendela. Benar saja, diluar hujan turun dengan derasnya. Setelah melihat ke jendela, Alfin kembali membaca buku bahasa asing yang ukurannya seperti HVS dengan tebal sepuluh senti meter.
Aldifa kembali membuka percakapan. "Kok pindah sekolah? Padahal dua minggu lagi Ujian Nasional."
Alfin hanya mengangkat bahu, matanya tak beralih dari buku yang dibacanya.
Aldifa geram, rasanya ia ingin menerkam Alfin sekarang juga. Aldifa menarik napas dalam-dalam lalu, dikeluarkan, ia masih memiliki kesabaran. Mungkin untuk Alfin sedikit canggung. Tapi tidak dengan Aldifa, Aldifa biasa saja apa yang perlu dicanggungi?
***
Dari pagi hujan belum reda. Sekarang sudah lewat jam satu. Bel pulang sekolah sudah berbunyi tiga puluh menit yang lalu. Aldifa berdiri di dekat tangga yang langsung bertemu dengan gerbang sekolah dan parkiran. Ia menunggu Mamanya yang datang menjemput. Sudah kebiasaan Aldifa diantar jemput oleh orang tuanya. Kalau pergi sekolah ia diantar oleh Papanya yang sekalian berangkat bekerja.
"Belum pulang?" Suara laki-laki yang pagi ini membuatnya geram terdengar di anak tangga terakhir. Aldifa yang sedang menjulurkan telapak tangannya agar mengenai air hujan, menoleh.
"Seperti yang kamu lihat." Aldifa kembali meluruskan pandangannya.
Hening.
Hanya suara percikan air hujan dan petir yang bersahutan. Aldifa mulai bosan, ia menurunkan tangannya. Lalu, bergerak sembilan puluh derajat menghadap Alfin."Kamu--argh!" Aldifa refleks mendekatkan tubuhnya ke tubuh Alfin, saat mendengar suara petir yang menggeledek dengan kilatan yang besar dan bercahaya.
Antara dada Alfin dan wajah Aldifa dibatasi oleh tangan Aldifa yang menutupi wajahnya.
Alfin merasakan desiran aneh. Jantungnya berpacu dengan ritme yang tidak normal. Tangan Alfin bergerak untuk mengusap punggung Aldifa, mencoba menenangkan. Tapi, suara klakson mobil mengurungkan niatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Ficção Adolescente[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...