37. Rooftop

450 25 3
                                    

Langkahnya terhenti setelah ia menutup kembali pintu rooftop. Cowok yang membelakanginya kini membalikan badan. Matanya menatap lurus pada manik mata Aldifa.

Alfan melangkah mendekati Aldifa. Ia memperpendek jaraknya dengan Aldifa. Langkahnya berhenti saat tersisa satu langkah lagi. Alfan menunduk agar leluasa menatap gadis yang hanya sebatas dadanya.

"Gue boleh meluk lo?" tanya Alfan.

"Kalau gue bilang nggak boleh lo pasti tetep ngelakuin kan?" bukannya menjawab, Aldifa bertanya balik.

"Nggak akan,"

"Kenapa?"

"Karena kalau lo bilang nggak boleh berarti gue gagal bikin lo kangen sama gue."

Aldifa menggigit bibir bawahnya. Ia mendadak gugup, hatinya merasa kecewa.

Alfan tersenyum tipis melihat gadis dihadapannya diam. Tangannya menarik pergelangan tangan Aldifa lembut. Lalu mendudukan Aldifa dikursi rotan dan ia ikut duduk dikursi yang lain.

"Jujur sih, gue kangen sama lo," kata Alfan lembut.

Aldifa menunduk, mengulum bibirnya. Ia merutuki pipinya yang memanas, sudah dipastikan merona.

Kepalanya menoleh pada Alfan. "Kalau udah tau bakal kangen kenapa pergi?"

Helaan napas berat keluar dari mulut Alfan. "Itu...," matanya lurus, tak berani menatap tatapan kecewa Aldifa nanti. "Gue nggak bisa ngasih tau."

Aldifa tertawa hambar. Lucu ya, baru beberapa detik yang lalu pipinya merona, membuatnya terbang lalu sekarang menjatuhkannya begitu saja. Hal ini mengingatkannya pada Alfin. Tapi satu yang berbeda.

Hati Aldifa masih sama.

"Yah... nggak masalah, yang penting lo kembali. Gue nggak perlu ngechat lo lagi terus nunggu kapan lo baca dan kapan lo balas, gue nggak perlu ngerasa khawatir lagi karena sekarang lo udah kembali, gue nggak perlu—" perkataan Aldifa terhenti. Aldifa merutuki matanya yang berkaca-kaca. Mengerjap sekali saja, cairan itu pasti mengalir di pipinya. "Menunggu lo lagi," ucapnya bersamaan dengan air matanya yang mengalir.

Tubuh mungil Aldifa ditarik ke dalam pelukan Alfan. Ia membiarkan gadis itu menangis dipelukannya. Alfan bodoh, ia melihat Aldifa hanya dari satu sisi, yaitu Aldifa kuat. Ia tidak melihat sisi lain kalau Aldifa bisa rapuh, dan sekarang Aldifa rapuh karenanya.

"Maaf, karena gue pergi dengan cara yang bikin hati lo sakit," cicit Alfan, mengusap rambut Aldifa pelan.

"Gue nggak butuh maaf lo, gue cuma butuh lo," lirih Aldifa dalam pelukan Alfan.

Alfan mengeratkan pelukannya. "Gue nggak akan pergi lagi,"

"Janji?"

"Janji."

***

"Cieee yang bebepnya balik," goda Kalea pada Aldifa di jam pelajaran fisika yang kebetulan gurunya tidak hadir dan hanya memberikan tugas.

"Apaan sih, Kal," gerutu Aldifa, tapi tak bisa menyembunyikan rona merah di pipinya.

Kenapa sih gue hari ini sering banget speechlees. Aldifa membatin.

"Cie cie pipinya merah," Kalea menusuk-nusuk pipi Aldifa dengan jarinya.

"Udah deh, Kal. Ngerjain sana kalau nggak gue lapor si Ale,"

"Idihh apaan dah, kenapa jadi si Ale. Gue nggak ada apa-apa sama si Ale kenapa disangkutin sama dia sih? Sebel banget deh," cibir Kalea.

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang