28. Kembali

501 34 0
                                    

"Alfin?"

Cowok yang namanya baru saja disebut berdiri dari duduknya. Senyum tipis mengembang di bibirnya, sangat tipis. Mata tajamnya memperhatikan gadis yang tengah menggelengkan kepala seakan-akan dia hanya halusinasinya.

"Hai," sapa Alfin, suaranya dingin.

"Lo...,"

"Aku kembali,"

Aldifa mundur selangkah. Kenapa? Kenapa Alfin kembali? Seketika kemarahannya memuncak, namun tidak bisa ia utarakan karena semua ini yang tiba-tiba. Aldifa membalikan badan lalu berlari. Semuanya sulit untuk ia cerna.

***

Sore harinya, Aldifa duduk diruang tamu. Matanya memperhatikan televisi yang menyala namun pikirannya bercabang kemana-mana.

Drrttt

"Halo,"

"Dif, gue sama Kelvin ke rumah lo ya,"

"Nggak usah, gue lagi pengin sendiri."

"Tapi, Dif—"

"Gue tutup, Kal,"

Aldifa mematikan sambungan telepon. Helaan napas berat keluar dari mulutnya. Pikirannya begitu kalut, semuanya sangat kelabu. Kepalanya mendadak berdenyut. Aldifa bangkit hendak keluar rumah namun suara Bintang menghentikannya.

"Mau kemana, Sayang?" tanya Bintang yang baru saja keluar dari kamar.

"Keluar bentar, Ma, nyari angin," jawab Aldifa, tak bersemangat.

Feel seorang ibu memang kuat, Bintang merasakan sesuatu yang aneh pada putrinya. Ia mendekati Aldifa mengusap bahunya lembut.

"Ada masalah apa, hm?"

Aldifa menggeleng, ia belum siap menceritakan apapun pada Bintang. "Aldifa pergi, Ma,"

Mungkin tidak sopan mengabaikan pertanyaan orangtua. Tapi saat ini Aldifa tidak ingin masalahnya diketahui siapapun. Bahkan Kelvin dan Kalea tidak tahu masalah lain selain masalah di kantin.

Angin sore menerpa wajahnya. Rambutnya yang tidak diikat bergerak bebas. Satu-satunya tempat yang bisa membuatnya tenang hanya taman.

Aldifa duduk disalah satu kursi panjang yang ada disana. Udara yang menusuk kulitnya tidak membuat ia mengeluh. Entah kenapa matanya selalu mendadak berkaca-kaca. Tapi Aldifa menahan air bening itu agar tidak mengalir di pipinya.

Pesannya belum ada yang dibalas. Jangankan dibalas dibaca saja tidak. Ia juga mencoba menelepon Bu Nur—pemilik panti asuhan—namun tidak dijawab.

Mine

Lo dimana?

Gue nggak tau masalah lo apa sampai lo minta putus dari gue.

Tapi setelah gue pikir-pikir, gue emang nggak pantes buat lo. Lo terlalu merjuangin semuanya, sedangkan gue?

Gue minta maaf.

Bohong kalau saat ini Aldifa baik-baik saja. Alfan yang pergi dan Alfin yang kembali. Ia seperti sedang dipermainkan dalam suatu pertunjukan sandiwara.

Aldifa sakit, sangat sakit. Ini kedua kalinya ia menaruh hati pada seseorang yang tiba-tiba pergi. Ingin melupakan namun sosoknya terlalu melekat dipikiran. Kalau tahu memberikan hati akan sesakit ini, dari awal Aldifa akan memilih pada sifatnya yang tumbuh karena Alfin. Tidak peduli.

"Apa kabar?"

Suara itu membuat tubuhnya menegang. Pemilik suara mengambil duduk disebelah Aldifa. Matanya menatap lekat gadis yang mempunyai senyuman manis. Tatapan itu sarat akan kerinduan.

Ia mengakui, kalau pergi dan kembalinya secara tiba-tiba sama dengan menorehkan luka dihati Aldifa.

"Apa alasan lo pergi?"

Pertanyaan yang tidak ingin ia dengar, terjadi. Alfin tidak menyalahkan Aldifa karena mengungkapkan pertanyaan itu. Tapi Alfin menyalahkan dirinya karena tidak bisa mencari alasan untuk menjawab pertanyaan itu.

"Aku nggak bisa jawab," Aldifa menoleh saat Alfin bersuara. "Tapi suatu saat nanti kamu pasti dapet jawabannya."

Aldifa kembali meluruskan kepalanya. Ia tidak ingin mengambil pusing semua ini, walau hatinya sakit.

"Maaf," gumam Alfin ditengah keheningan yang menyelimuti mereka.

"Untuk?"

"Karena telah pergi dan ... kembali,"

Aldifa tertawa miris, ia menoleh pada Alfin. Sebenarnya bukan Alfin saja yang merasakan rindu, Aldifa pun sama. Hanya saja, perasaan itu, rasa suka itu, sudah menguap dari hatinya. Dan sekarang hanya ada satu orang, sosok yang kuat. Kuat menghadapi penderitaannya.

"Waktu kamu tanya aku bisa suka kamu, aku jawab bisa. Dan sekarang aku suka kamu,"

Alfin bodoh. Aldifa merutukinya dalam hati. Ia benci Alfin yang sekarang, yang dengan mudahnya memberi tahu isi hatinya. Aldifa terlalu kecewa, ia terlalu sakit.

"Tapi gue udah nggak suka sama lo!" Aldifa menegaskan, mungkin itu menyakiti hati Alfin tapi ia tidak peduli.

"Hem, aku tau. Alfan kan?"

Raut wajahnya terkejut untuk beberapa detik. Aldifa curiga Alfin yang membawa Alfan pergi. Tapi persepsi itu ia coba hilangkan, terlalu drama menurutnya.

"Aku tau kegiatan kamu selama aku nggak ada, Al," kata Alfin

"Maksud lo?"

"Sebelum aku pergi, aku udah suka sama kamu. Dan ada beberapa temanku yang satu sekolah sama kamu. Mereka selalu ngasih kabar tentang kamu. Mulai dari kamu yang nggak suka sama Alfan, kamu yang selalu diganggu sama Alfan, dan terakhir ... kamu yang pacaran sama Alfan."

Alfin menghela napas berat. Aldifa mengerjapkan matanya. Tadi itu, kalimat terpanjang yang dilontarkan Alfin—bukan, tapi perkataan yang menjurus kalau Alfin benar-benar suka Aldifa.

"Ini rencana lo? Lo kembali saat Alfan nggak ada? Iya?" tuduh Aldifa.

"Nggak. Aku memang harus kembali. Ini nggak ada sangkut pautnya sama ketidakadaan Alfan."

Aldifa memijat pelipisnya. Kepalanya pusing, masalahnya terlalu berat untuk dihadapi sendiri. Lebih baik ia pulang. Ya, itu yang terbaik untuk saat ini.

"Mau kemana, Al?" tanya Alfin ketika melihat Aldifa berdiri.

"Kembali ... ke rumah."

***

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang