39. Isi Sebuah Buku

430 21 3
                                    

Aldifa bercermin sambil mengeringkan rambutnya yang basah. Handuk yang sedari tadi digunakan untuk mengeringkan rambut ia gantung ditempatnya. Lalu kembali menatap cermin.

Kedua telapak tangan menangkup pipinya lalu menepuk keras. "Aw,"

"Pipi kenapa lo sering banget berubah jadi merah di depan Alfan sih!" Aldifa menggerutu, "Apa gue salah makan obat ya?"

"Argh," Aldifa menepuk-nepuk pipinya keras sambil menghentak-hentakan kakinya.

Kali ini berubah menjadi menjambak rambutnya persis seperti orang depresi. "AAAAAAA.."

"ALDIFA KENAPA TERIAK-TERIAK?!" suara Bintang menghentikan kebrutalan Aldifa pada rambutnya.

"Eung ... ADA KECOA MA!"

Aldifa diam beberapa detik, tidak ada sahutan dari Mamanya lagi. Berarti Bintang tidak mempedulikan. Aldifa loncat ke atas kasur, menenggelamkan kepalanya dibantal lalu kembali memekik.

BRAK!

Suara pintu yang dibuka keras membuat Aldifa menoleh. Disana ada Papanya yang memegang sapu dan Mamanya yang memegang tutup panci.

"Mana kecoanya?!" tanya Rafa, menoleh sana-sini.

"Kamu nggak papa kan, Dif?" tanya Mama yang kini duduk di tepi kasur.

"Ada apaan sih ini?" dahi Aldifa berkerut menandakan ia sedang bingung.

"Kata Mama kamu disini ada kecoa," kata Rafa, kini melihat ke kolong meja belajar Aldifa.

Aldifa menepuk dahinya. "Cuma kecoa, kenapa paniknya kayak ada gempa sih!" Aldifa geleng-geleng kepala, tidak habis pikir dengan orangtuanya ini.

"Kamar anak Mama harus bersih. Ada kecoa juga harus dibasmi, gimana kalau kecoanya beranak terus anaknya punya anak, anaknya itu punya anak lagi, terus aja anakan. Nanti kamar kamu jadi ternak kecoa dong,"

"Ya nggak papa, Aldifa jadi juragannya," Aldifa tertawa, Mamanya malah mendelik malas. "Lagian kecoanya udah nggak ada," sahut Aldifa setelah tawanya berhenti.

"Lah, kemana?"

"Nggak tau, pindah ke kamar Mama kali,"

"YAAMPUNN, Pa ayo pindah nyari kecoanya jadi ke—"

"Bercanda, Ma. Nggak ada apapun disini. Tadi Aldifa teriak karena kelupaan sesuatu," bohong demi harga diri nggak papa kali. Yakali Aldifa ngomong kalau dia teriak tuh gara-gara baper sama Alfan. Bisa-bisa digodain selama seminggu.

"Haduhh kamu ini ya!" Bintang menjitak kepala anaknya hingga mengaduh. "Kirain beneran ada kecoa, untung Mama belum nelepon tukang sedot wc,"

"Lah kok yang ditelepon tukang sedot wc sih. Kan masalahnya sama kecoa bukan sama closet," Aldifa menggaruk kepalanya bingung.

"Ya karena Mama nggak punya nomor  tukang pembasmi kecoa. Mama punya nya nomor tukang sedot wc siapa tau tukang sedot wc punya nomor tukang pembasmi kecoa kan?" Bintang menaik turunkan alisnya.

Aldifa gemas dengan Mamanya. Pinternya kebangetan. "Iya, Ma tapi kemungkinannya itu cuma 0,1 persen."

"Ya nggak papa, Dif, siapa tau emang tukang se—"

"Udah udah, jangan ghibahin tukang sedot wc sama tukang pembasmi kecoa," Rafa menengahi karena pusing melihat anak dan istrinya berdebat hanya karena hal sepele. "Ayo, Ma kita ke bawah. Aldifa perlu ngerjain tugas."

"Hah? Aldifa nggak ada tugas kok. Jadi santuy,"

Rafa menggeram kesal. Anaknya kurang dikasih apa sih. Ya pura-pura aja ada biar nggak ribut lagi sama Mama sendiri.

"Ayo, Ma ke bawah," Rafa menarik Bintang agar keluar dari kamar anaknya.

Sebelum menutup pintu kamar Aldifa, Rafa sempat berkata, "Jangan ngebucin mulu. Ntar ditinggalin sakit loh," setelah itu pintu tertutup rapat.

Aldifa melotot, nggak habis pikir sama kelakuan Mama dan Papanya yang suka banget bikin anaknya kesel.

"Dasar orangtua,"

***

Pukul setengah sembilan malam Aldifa kembali ke kamar setelah sebelumnya makan malam lalu dilanjutkan menonton film action bersama Mama dan Papanya di ruang keluarga. Ia mengambil tas di atas meja belajar untuk mengambil ponselnya yang belum sempat dicharger sejak pulang sekolah. Saat mengambil tasnya, tidak sengaja sebuah buku bersampul coklat jatuh ke dekat kakinya.

Ia mengambil buku itu lalu berpikir sebentar. "Ah, buku yang dikasih Alfan tadi,"

Aldifa menaruh tasnya kembali. Ia akan membaca buku itu karena rasa penasaran yang harus terselesaikan.

Halaman 1
9 November
Sebuah keputusan yang harus segera diputuskan. Malam ini.

Aldifa mengernyit, maksudnya gimana sih. Ia mengedikan bahu, Alfan memang sulit ditebak. Lembar berikutnya segera ia baca.

Halaman 2
10 November
Sebuah kata, namun sakitnya begitu terasa. Dan, lebih menyakitkan dari yang sudah ada.

Halaman 3
11 November
Sakitnya sangat menyiksa. Lembar berikutnya semoga masih ada kata yang terangkai.

Halaman 4
12 November
Masih ada. Terimakasih Tuhan.

Halaman 5
13 November
Ada sebuah cerita, seekor kelinci yang terlahir lemah. Begitu malang. Kadang kala dia berharap pada cahaya bulan di malam hari. Harapan yang mudah namun rasanya sulit terkabulkan. Dia hanya ingin sebuah perlindungan.

Dan suatu hari, harapannya terkabulkan. Tuan Putri pemilik senyum manis dengan sukarela merawat dan melindungi dia, si kelinci yang terlahir lemah.

Rasanya waktu cepat berlalu. Walau telah dilindungi nyatanya dia tetap lemah dan berpikir bahwa dia akan mati. Pada akhirnya, si kelinci lemah pergi meninggalkan Tuan Putri. Dia tidak ingin membuat Tuan Putri bersedih.

Tapi ternyata, yang membuat Tuan Putri bersedih bukan karena si kelinci mati. Melainkan si kelinci yang pergi.

Halaman 6
14 November
Dan memutuskan untuk kembali.

Halaman 7
15 November
Ya, kembali...

Buku bersampul coklat itu Aldifa tutup. Ia menghembuskan napas kasar. Aldifa merasa paham dengan isinya namun disisi lain ia bertanya-tanya jawaban apa yang ia dapatkan.

"Arghh," Aldifa mengacak-acak rambutnya, frustasi. "Hidup lo terlalu abu-abu. Penuh dengan kata-kata yang sulit gue mengerti."

"Ya, pada akhirnya lo kembali," ucapnya, lalu terdiam beberapa saat. "Lo ... kembali,"

Mata Aldifa membulat. Aldifa paham, ia mengerti. Dan yang pasti sekarang ia tahu jawabannya.

***

Masih pada bingung gak? Kalau pada ngeh pasti tahu juga jawabannya wkwk

Tenang tenang, jawabannya bakal lebih jelas dichapter selanjutnya.

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang