32. Hurt

487 23 1
                                    

Cermin dihadapannya menampilkan pantulan diri. Aldifa mengikat rambutnya seperti biasa. Lalu menyemprotkan parfum ke seragam secukupnya. Ia menatap dirinya yang kembali segar. Setelah kemarin malam, menceritakan hal yang ia sembunyikan dari Kalea.

Senyum tipis melengkung dibibirnya. Semua ini ia lakukan bukan karena dirinya menyerah dengan masalah. Tapi, ini adalah bukti kalau Aldifa yang dulu dan sekarang berbeda. Jika dulu—saat Alfin tiba-tiba pergi—perubahannya sangat drastis, dari yang ceria menjadi cuek. Namun sekarang, ia mencoba untuk menerima semuanya. Benci Alfan? Sama sekali tidak. Ia akan menyelesaikan semuanya dengan kepala dingin. Termasuk masalahnya dengan Alfin.

"Mama baru aja mau manggil kamu," ucap Bintang saat melihat anak gadisnya keluar kamar.

"Tumben,"

"Ada Alfin di ruang makan," kata Bintang membuat Aldifa diam seketika.

Kali ini jangan lari dari masalah, batinnya.

Aldifa mengangguk, lalu mengekori Bintang ke ruang makan. Benar saja, disana ada Alfin tengah mengobrol dengan Rafa. Aldifa menarik kursi kosong lalu mendudukinya. Ia segera melahap roti yang sudah diolesi selai cokelat dan stawberry oleh Mama nya.

"Alfin satu sekolah sama kamu lho, sayang," kata Rafa sambil menyesap kopi yang uapnya masih mengepul.

"Udah tau," sahutnya.

"Kalian udah ngobrol sebelumnya?" tanya Rafa, bingung.

"Kan dia pakai seragam yang sama kayak Aldifa, Pa," jawab Aldifa tanpa minat.

Ia segera menghabiskan susu cokelatnya. Bisa-bisa kalau ia masih disini Papa nya akan terus berbicara. Kadang Aldifa bingung dengan orangtuanya, sebab yang paling cerewet adalah Papa nya. Kalau Mama nya sih biasa aja, bicara sewajarnya.

"Aldifa pamit," ia menyalimi tangan kedua orangtuanya lalu melenggang pergi.

Tapi beberapa detik kemudian terdengar suara Alfin yang menyuruhnya untuk tunggu di teras. Aldifa menghembuskan napas kasar, ia duduk dikursi teras sambil memakai sepatunya.

"Ayo!" suara Alfin menghentikan aktivitasnya menalikan tali sepatu. Tapi beberapa detik kemudian ia kembali melanjutkannya lalu berdiri dan menyusul Alfin yang berdiri di samping pintu mobil.

Alfin membukakan pintu mobil untuk Aldifa. Sebelum masuk Aldifa berkata, "Makasih, tapi gue masih punya tangan buat buka pintunya."

Alfin yang mendengar itu tersenyum miris. Tapi ia tidak bisa berbuat apa-apa. Setelah Aldifa masuk ia menutup pintunya lalu memutari bagian depan untuk ke pintu sebelahnya.

"Kamu udah bilang ke Kalea kalau kita berangkat bareng?" tanya Alfin, matanya fokus pada jalanan.

"Udah," jawab Aldifa sekenanya, ia tidak begitu penasaran Alfin tahu darimana kalau ia dan Kalea sering berangkat bersama karena kuncinya hanya satu orang, Kelvin.

"Aku minta maaf," ucap Alfin pelan

"Buat?"

"Semuanya."

"Ya, gue maafin,"

Alfin menghela napas, ia sangat tahu kalau Aldifa tidak benar-benar memaafkannya. Nada suaranya begitu kentara kalau Aldifa malas membahas yang lalu. Namun, hal itu harus Alfin selesaikan.

"Pulang sekolah ada waktu?" tanya Alfin.

"Ada,"

"Bisa kita ngobrol bentar?"

"Sepenting apa?" Aldifa balik bertanya.

"Hem ... aku mau ba-"

"Kalau bahas yang dulu mending nggak usah. Males,"

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang