31. Malam Tanpa Bintang

485 34 2
                                    

Kalea membereskan alat tulisnya terburu-buru. Ia tidak ingin pulang bersama Kelvin. Kalau bisa, hari ini ia tidak pulang.

"Dif, gue males pulang. Ada rekomendasi tempat nggak?" tanya Kalea. Kelas sudah kosong beberapa menit yang lalu, yang tersisa hanyalah ia, Aldifa dan tas Kelvin. Pemilik tasnya entah pergi kemana, Kalea tidak peduli.

"Gue mau ke panti asuhan, lo mau ikut?" tawar Aldifa, ya setidaknya jika mengajak Kalea ia tidak terlalu larut dalam kesedihan saat di jalan nanti.

"Mau! Ayo, berangkat sekarang, gue males kalau ketemu Kelvin."

Aldifa berdehem, menyampirkan tasnya dibahu lalu melangkah keluar kelas bersama Kalea. Kaki mereka melangkah dengan tujuan yang tentu. Namun setiap langkah, beban mereka seakan tidak berkurang sedikitpun.

"Kalian mau kemana?" Suara dingin itu membuat Aldifa dan Kalea menoleh. Alfin berdiri di dekat gerbang dengan tangan menyilang di depan dada.

Kalea yang biasanya langsung menjawab-mewakili Aldifa-kali ini memilih diam. Sedangkan Aldifa menatap Alfin tak kalah dingin. Mulai detik ini Aldifa tidak ingin ada orang lain yang ikut campur dalam urusanya.

"Pergi. Dan lo jangan pernah ngikutin kita." suara penuh penekanan itu berhasil membuat tubuh Alfin kaku. Aldifa seakan tahu yang tengah dipikirkan Alfin.

Memang benar, Alfin akan membuntuti mereka jika tidak diberi tahu mereka akan pergi kemana. Tapi kalimat terakhir Aldifa membuatnya berpikir ulang. Hatinya mendadak sakit saat tahu sebenci itukah Aldifa padanya?

Aldifa dan Kalea menaiki angkot yang berhenti di depan sekolah mereka. Alfin diam disana dengan segala penyesalan yang menghantuinya. Ia menyesal karena waktu itu memilih pindah sekolah dan bertemu Aldifa. Tapi jika itu terjadi, yang lebih membuatnya menyesal adalah bertingkah sangat dingin dihari kelima ia bersekolah. Dan terakhir yang membuatnya sangat sangat menyesal sampai merasa dirinya pecundang yaitu, tidak bisa menjelaskan alasan kenapa ia pergi begitu saja.

Terlalu banyak penyesalan dalam hidupnya. Ia bisa melakukan segalanya tapi tidak semuanya. Bisa melakukan segalanya karena ia merasa berkuasa tapi tidak semuanya karena ia merasa berdosa telah melakukan segalanya itu.

"Fin," panggil seseorang. Seorang teman-yang dua hari lalu ia kenal-mungkin.

"Lo liat Aldifa sama Kalea?" tanya Kelvin.

Alfin menggeleng pelan. "Nggak, gue baru dateng,"

"Ck, kayaknya mereka udah pulang deh."

"Mungkin,"

"Oh, iya, ada pemberitahuan dari kepala sekolah kalau lo bisa sekolah disini dan sekelas sama gue."

Alfin hanya tersenyum tipis, tidak minat untuk membalasnya. Pikirannya terlalu dipenuhi dengan Aldifa.

***

"Sampe sekarang belum ada kabar tentang Kak Alfan dari siapapun?" tanya Kalea setelah mereka turun dari angkot.

Aldifa menggeleng, "Kalau ada gue nggak akan ke sini, Kal,"

Tak membutuh waktu lama, mereka sudah sampai di panti asuhan. Tempatnya begitu sepi, tidak ada suara teriakan anak-anak. Aldifa membuka pagar yang hanya sebatas pinggangnya tapi terkunci.

Kalea menoleh pada Aldifa. "Mungkin mereka lagi liburan,"

"Kalau mereka liburan, susah gitu buat Alfan bales pesan gue?" Aldifa tersenyum miris.

Kalea mengangkat bahunya. "Permisi!" teriak Kalea dengan suara indahnya. "Permisi! Assalamualaikum!"

"Neng, orangnya lagi pada pergi," kata ibu-ibu yang lewat.

"Pergi kemana ya, Bu?" tanya Aldifa, sopan.

"Kurang tau, Neng. Udah tiga hari panti ini sepi," jawabnya.

"Oh, makasih, Bu." Kalea mewakili karena Aldifa hanya diam.

Ibu itu tersenyum ramah lalu pergi meninggalkan mereka.

"Sekarang gimana, Dif?"

"Entahlah, Kal. Bahkan warga disini pun nggak tau mereka pergi kemana,"

Aldifa pergi tanpa hasil. Kalea mengikutinya, menatap punggung yang semakin rapuh. Kadang ia masih tidak percaya kalau Aldifa benar-benar sayang pada Alfan. Karena sikapnya yang bodo amat, yang membuat kisah asmara mereka seakan-akan hanya Alfan yang berjuang. Padahal dibalik semua itu Aldifa ikut berjuang.

"Dif, ini bukan angkot ke arah rumah kita," kata Kalea karena Aldifa memberhentikan angkot yang berbeda jurusan.

"Kita ke kantor Papa,"

"Ngapain?"

***

Selama diperjalanan Aldifa tidak memberitahu Kalea untuk apa mereka ke sini. Dan itu membuat Kalea sedikit kesal tapi tidak ingin mengeluarkan kekesalannya. Karena itu hanya membuat suasana hati semakin runyam.

"Kita naik tangga darurat," kata Aldifa.

"Emang lift nya rusak?"

"Nggak."

"Terus kenapa?"

Aldifa tidak menjawab, toh menurutnya nanti Kalea akan tahu kenapa ia memilih naik tangga, bukan lift.

Perlu diketahui, tempat ini adalah tempat pelariannya saat ia bersedih. Semua pegawai di kantor Papa nya sudah ia suruh untuk tutup mulut kalau dirinya suka datang ke sini. Masalahnya sih cuma satu, kalau sampai Papa nya tahu ia akan diberi banyak pertanyaan.

Mereka sampai di atap gedung. Langit malam menyambut mereka. Angin yang berhembus menjadi saksi sakitnya hati mereka. Kalea mengikuti Aldifa yang duduk selonjoran.

Aldifa mempergunakan tasnya sebagai alas kepalanya. Matanya menelusuri bentangan langit.

"Lo nggak takut kotor?" tanya Kalea, tapi ia mengikuti cara Aldifa berbaring.

"Lo sendiri?"

"Nggak peduli."

"Sama."

Kembali diam. Tidak ada percakapan untuk waktu yang lama. Sama-sama merenung dengan masalah masing-masing. Belum menemukan jalan untuk mereka keluar dari masalah ini.

"Dif,"

"Hm?"

"Malam-"

"Tanpa bintang,"

Aldifa tersenyum miris. Ia menghembuskan napas kasar.

"Kayaknya lo harus tau ini," kata Aldifa, membingungkan.

"Apa?"

"Gue dan Alfin udah kenal dari SMP,"

***

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang