22. Bicara Berdua (b)

503 32 1
                                    

Lima hari terlewati dengan menjauhnya Aldifa dari Alfan. Selama itu, Aldifa dan Alfan tidak pernah saling kirim pesan lagi. Saat di sekolah pun, ketika mereka tak sengaja bertemu hanya saling tatap untuk beberapa detik. Aldifa kembali ke mode cueknya saat bertemu Alfan, sedangkan Alfan tetap menjadi Alfan yang ramah dengan melempar senyum tipisnya. Dan Aldifa membenci senyum itu, senyum yang menyiratkan akan keputus asaan.

Di kelas bahkan di rumah, Aldifa lebih banyak diam. Itu berdampak buruk bagi Kalea dan Kelvin. Kelvin sudah mengetahui apa yang terjadi, dan ia setuju dengan pendapat kembarannya kalau Aldifa lebih baik bertahan. Tapi semua keputusan ada di tangan Aldifa.

"Dif, bisa kita bicara berdua?" suara Wina membuyarkan lamunan Aldifa yang tengah mengaduk jus alpukatnya.

Kalea dan Kelvin saling tatap lalu menatap Aldifa. Aldifa mengangguk pelan lalu berdiri, melangkah di belakang Wina.

Mereka kembali ke ruang musik. Aldifa menutup rapat pintu berwarna cokelat itu lalu menyusul Wina yang sudah duduk dibangku plastik yang ada.

Aldifa ikut duduk dibangku yang lain. Ia diam, namun tatapannya bertanya apa yang ingin Wina bicarakan.

Wina menghela napas. "Gue rasa gue salah, seharusnya gue nggak minta lo jauhin Alfan. Gue kira saat lo menjauh dari Alfan, Alfan akan lebih tenang. Tapi nyatanya, dia malah terpuruk. Selama lima hari ini, udah tiga kali Alfan nggak sekolah. Saat gue dan Leo datang ke panti, ternyata kondisi tubuh Alfan melemah."

Aldifa mendengarkan cerita Wina tanpa minat memotongnya. Aldifa sudah menduga apa yang terjadi. Karena saat ia tak sengaja bertemu Alfan, Alfan terlihat berbeda. Berbeda dalam artian gerak tubuhnya yang tak bersemangat seperti biasanya.

"Ini terdengar menjilat ludah sendiri, tapi gue minta lo bertahan disisi Alfan. Gue nggak tega ngelihat Alfan terpuruk kayak gitu. Dan satu-satunya orang yang ada dihati Alfan itu cuma lo."

"Kenapa lo nggak gantiin posisi gue dihati Alfan aja kalau gitu?" tanya Aldifa sarkastik.

"Gue udah coba, tapi nggak bisa. Selama gue mengenal Alfan, baru kali ini Alfan menemukan cewek lain sebagai prioritasnya selain gue. Mungkin emang takdir gue cuma sebagai sahabat." Wina memegang satu tangan Aldifa, ia benar-benar merasa sesak ketika melihat kondisi Alfan.

"Lo itu cewek pengecut yang gue kenal. Kenapa lo nggak ngungkapin perasaan lo aja ke Alfan?" tanya Aldifa.

"Gue nggak berani, dan kalau gue berani, gue udah tau jawabannya sebelum Alfan menjawab."

Aldifa melepaskan tangan Wina dari tangannya. Ia jengah dengan sikap Wina yang labil. Dia sudah kelas dua belas kenapa nggak bisa berpikir dewasa sih?

"Gue mohon, Dif, lo balik lagi ke Alfan. Cuma lo yang bisa balikin semangat hidupnya Alfan," Wina memelas, Aldifa memalingkan muka.

"Kalau gue nggak mau? Gue udah terlanjur jauhin dia!" Nada suara Aldifa naik satu oktaf.

"Gue yang akan bilang ke Alfan kalau gue yang minta lo jauhin Alfan."

Aldifa berdecak, ia menyunggingkan senyum sinis. "Enteng banget ya omongan lo,"

Wina bungkam, ia tahu dirinya salah. Sekarang Wina menyesal dengan apa yang dilakukannya. Rasa malunya terhadap Aldifa hilang begitu saja.

"Lo nggak perlu khawatirin apapun. Gue tau apa yang harus gue lakukan," kata Aldifa sebagai penutup percakapan ini.

Ia bangkit, pergi meninggalkan Wina yang menundukan kepala. Aldifa tahu, Wina menyesal atas perbuatannya dan merasa bersalah. Sayangnya, Aldifa tidak punya rasa peduli sedikit pun pada Wina.

Aldifa gadis yang berpikir panjang. Ia berani menanggung resiko yang terjadi. Bukan Alfan saja yang merasa terpuruk. Aldifa juga, dan hanya si kembar yang tahu keterpurukannya

***

Dibelokkan koridor dahi Aldifa tak sengaja terbentur dengan dada bidang milik seseorang. Aldifa meringis sembari mengusap dahinya.

Sakit banget gila. Langsung bersentuhan sama tulangnya kayaknya.

"Sorry, gue ng—" perkataan Aldifa terputus, ia sedikit terkejut saat kepalanya mendongak untuk menatap cowok di depannya. Kakinya mundur selangkah.

"Nggak pa-pa?" tanyanya sambil memegang dahi Aldifa. Namun Aldifa segera menepisnya.

"Maaf," hanya itu yang terucap dari mulut Aldifa sebelum melangkah pergi.

Alfan menatap punggung Aldifa yang menjauh dengan tatapan yang sulit diartikan. Kenapa begitu sulit untuk ia raih gadis mungil itu ke dalam dekapannya?

Sakit. Itu yang dirasakan hatinya. Alfan berusaha merelakan semua yang terjadi. Namun hatinya berontak tanda tak rela.

Gue bakal raih lo, Al. Nggak peduli dengan yang bakal terjadi di depan sana.

***

2 Juni 2019

***

Triple Update~
Seneng gak? Harus seneng dong.
Aku minta maap sebanyak-banyaknya karena update gak tepat waktu. Alasannya cuma satu mood nulis turun.

Kalau lagi males maksain nulis takutnya malah aneh ke alurnya. Jadi tunggu mood nulisnya kembali membaik.

Part berikutnya akan terjadi sesuatu yang ...

Tunggu aja.

<3

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang