Ekstrakulikuler basket telah selesai 30 menit yang lalu. Namun Aldifa enggan meninggalkan lapangan basket. Ia masih berlari sambil memantulkan bola orange itu dan sesekali memasukannya ke dalam ring. Sebenarnya ia bosan, tapi lebih bosan saat di rumah tidak ada kegiatan.
Aldifa melirik arlojinya, pukul empat sore. Ia mengusap keringat yang mengucur diarea wajahnya. Tiba-tiba rasa haus melanda tenggorokannya. Aldifa berhenti bermain basket lalu duduk di pinggir lapang. Ia mengambil botol minum dari dalam tasnya lalu meneguk isinya sampai habis.
"Belum pulang?" tanya cowok jangkung yang akhir-akhir ini sering menyentil mulutnya.
"Bisa main basket nggak?" Aldifa berdiri, tidak menggubris pertanyaan Alfan. Tidak penting menurutnya. Ngapain nanya belum pulang kalau orangnya ada dihadapannya. Pertanyaan yang sangat un-faedah.
Alfan menggeleng lesu. Ia memilih memperhatikan Aldifa yang tengah memantulkan bola basket.
"Cemen, masa main aja nggak bisa? Cuma mantulin doang," Sebenarnya bukan cuma mantulin bola saja, ada beberapa trik khusus untuk bermainnya. Namun Aldifa mengambil jalan pintas agar Alfan menerima tantangannya. Ia bosan bermain sendiri.
Bola basket Aldifa lemparkan pada Alfan. Alfan menangkapnya tapi tidak berdiri untuk bermain.
"Ayo main," rengek Aldifa, kalau sudah menyangkut hobinya mood Aldifa bisa berubah seketika. Yang tadinya cuek bisa ceria. Tapi beberapa menit kemudian akan kembali cuek.
Alfan menghela napas panjang. Ia berdiri, menuruti permintaan Aldifa. Alfan mulai memantulkan bola menuju ke tengah lapang. Aldifa tersenyum senang, ia berlari merebut bola dari Alfan. Sangat mudah merebutnya, ia pikir, apa Alfan benar-benar tidak bisa bermain? Sekedar menghindari lawan saja masa tidak bisa.
Tapi Aldifa tidak mempedulikannya. Ia melempar bola mengarah ke ring dan ... seperti biasa, bola itu masuk sempurna.
"Al, gue nggak kuat," suara Alfan menghentikan permainannya.
Ia menghampiri Alfan yang duduk di tengah lapang dengan napas terengah-engah.
"Lo punya asma?" tanya Aldifa, wajahnya datar.
Alfan menggeleng.
"Terus kenapa secape itu? Yaampun, kita main belum sampe lima menit. Lo udah tepar duluan. Cemen ah," ledek Aldifa.
"Gue capek,"
"Alfan!" teriak seorang cewek.
Menghampiri Alfan yang duduk di tengah lapang. Cewek itu jongkok lalu mengecek keadaan Alfan yang membuatnya khawatir.
"Kok lo bisa gini sih, Fan?" tanyanya khawatir.
"Tadi gue main basket,"
"Apa?!" Cewek itu menatap Aldifa yang sedang menatapnya juga. Ia berdiri, tatapan tajam diarahkan pada Aldifa. "Pasti lo yang ngajak Alfan main basket."
"Iya," jawab Aldifa, cuek.
"Gara-gara lo Alfan jadi gini!"
"Terus?"
"Lo ... bisa nggak har—"
"Wina!" Alfan berusaha berdiri, walau dadanya sangat sesak. "Gue nggak pa-pa."
"Tapi Fan...."
Ucapan Wina tergantung karena Alfan menggelengkan kepala. "Gue udah nggak kenapa-napa."
Walau Alfan bilang begitu, tetap sorot matanya menyiratkan kekhawatiran. "Kita ke dokter ya, Fan."
"Manja. Gitu doang ke dokter. Bawa ke UKS aja apa susahnya?" cibir Aldifa.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
أدب المراهقين[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...