24. Perasaan

550 36 1
                                    

"Gue ke kelas duluan," Aldifa berkata cepat setelah turun dari motor dan memberikan helmnya pada Alfan.

Alfan yang sibuk membuka jaketnya dengan sigap menarik rambut Aldifa yang dikucir kuda. Sang empu terseret ke belakang dengan satu tangannya yang berusaha melepaskan tangan Alfan dari rambutnya.

"Lepasin, malu dilihatin yang lain," Aldifa masih dengan usahanya. Bahkan tangan Alfan ia cakar-cakar agar mau lepas.

"Liat kuku lo," Alfan menarik tangan kiri Aldifa lalu melihat kukunya. "Kuku pendek gini nggak akan kerasa sakit, geli yang ada," ejek Alfan, Aldifa mendelik kesal.

"Lepasin ih!"

"Iya, ini dilepas," Alfan melepaskan tangannya, Aldifa langsung kabur. Ia malu diperhatikan siswa-siswi yang melewati parkiran.

Alfan menggelengkan kepala lalu mengejar Aldifa. Langkah panjangnya begitu mudah mensejajarkan dengan Aldifa. Alfan melingkarkan tangannya di leher Aldifa, merangkul. Pipi Aldifa seketika memanas.

"Eh, eh, kok pipinya merah," Alfan menoel-noel pipi Aldifa gemas.

Astaga. Aldifa semakin malu. Kini ia berusaha menyingkirkan tangan Alfan dari lehernya, tapi tetap saja tenaganya tidak sebanding.

"Berhenti noel-noel pipi gue!" geram Aldifa, rasanya ia ingin berteriak di telinga Alfan untuk tidak menggodanya.

"Nggak mau,"

"Ih, sialan—aw," Aldifa mengusap bibirnya yang terasa perih.

"Jangan ngumpat, Say—aw," Alfan memegangi perutnya yang terkena sikutan Aldifa. Tenaga pacarnya lumayan juga.

Aldifa berlari menjauh dari Alfan. Ia membalikan badannya lalu memeletkan lidah pada Alfan. "Rasain! Nyebelin sih,"

Setelah itu Aldifa kembali melanjutkan langkahnya menuju kelas. Meninggalkan Alfan yang berusaha menahan senyumnya. Ia ingin hari-harinya terus seperti ini. Semoga Tuhan mengabulkan doanya.

Alfan sampai di kelas dengan senyum semringah. Ia langsung duduk di sebelah Leo seperti biasanya. Wina yang duduk di depannya langsung memutar tubuhnya menghadap Alfan dan Leo.

"Ekhem, hawa-hawanya baru ada yang pacaran nih. Lo ngerasa nggak, Win?" Leo bertanya pada Wina seolah-olah ia tidak tahu.

"Ya? Ah, iya. Gue ngerasain kok," Wina tersenyum kecut.

Leo diam, ia menatap Wina dengan tatapan yang sulit diartikan. Saat ia bertanya pada Wina, ia sadar kalau Wina sedang memperhatikan senyum Alfan.

Wina terlalu menatap lurus ke depan dimana Alfan sudah bahagia bersama Aldifa, tanpa mau menoleh ke belakang bahwa ada Leo yang sedang berusaha menghancurkan sebuah benteng yang menghalangi langkahnya untuk sampai pada Wina. Tapi Leo tahu, Wina bukan tipe cewek yang akan membuat 1001 cara untuk memisahkan Alfan dan Aldifa. Wina mencoba ikhlas asal itu menyangkut kebahagiaan orang tersayangnya. Dan sebaliknya, Wina akan murka jika orang tersayangnya tersakiti.

"Makanya, kalian berdua pacaran sana. Biar spesies jomblo berkurang," kata Alfan diakhiri kekehan.

Leo tersenyum miris mendengar penuturan Alfan. Hatinya semakin nyeri saat Wina bersuara.

"Nggak deh, gue sama Leo sahabatan begitu juga sama lo. Basi ah kalau sahabat jadi cinta," Wina tertawa, tawa yang menusuk hati Leo hingga lapisan paling dalam.

"Ya ... sandiwara Tuhan nggak ada yang tau, Win. Bisa aja sekarang lo bilang gitu, tapi entar?" Alfan sengaja mengatakan itu, ia ingin menyadarkan Wina bahwa ada orang yang mencintainya.

Wina adalah cewek paling tidak peka yang Alfan kenal. Alfan saja sadar kalau selama ini Leo selalu memberi kode pada Wina.

Ditempat lain, tepatnya di kelas X IPA 1 Aldifa sedang menahan kesal karena teman sebangkunya—Kalea—terus menggodanya. Berbeda dengan Alfan yang menggodanya, pipi Aldifa akan langsung merah. Tapi kalau Kalea yang menggodanya, rasanya Aldifa ingin memakan Kalea hidup-hidup.

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang