Aldifa tersadar, ia mengusap sisa air mata di pipinya. Namun semua itu percuma, kilas balik situasi tadi membuatnya makin terisak. Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang terbaring di brankar itu? Batinnya bertanya-tanya.
Ia melihat sekeliling, ruang rawatnya. Tapi tidak ada siapapun. Dengan susah payah dan langkah tertatih-tatih Aldifa menyusuri lorong mencari keberadaan siapapun yang bisa menjawab semua pertanyaannya.
Dari arah berlawanan Bintang tersadar dengan keberadaannya dan melangkah menghampiri Aldifa.
"Sayang, kamu seharusnya istirahat," ucap Bintang lembut.
Aldifa menatap mata sembap Mamanya. "Ma, jelasin ke Aldifa apa yang sebenarnya terjadi."
Bintang diam, melihat kondisi Aldifa seperti ini membuatnya sakit. Bintang tidak kehilangan seperti Anggi, namun melihat anaknya terpuruk sangat menyesakkan baginya.
"Ma, please jelasin."
Bintang menuntun Aldifa untuk duduk terlebih dahulu. Ia menggenggam tangan Aldifa untuk menguatkan.
"Alfin udah nggak ada," ucapnya lirih dan hal itu membuat pertahanan Aldifa yang sedari tadi tertahan, runtuh. "Kondisi Alfan dan Alfin sangat buruk, sulit untuk mereka bertahan hidup."
Aldifa tertegun. "Maksudnya, Ma?"
"Dalam kecelakaan itu penyakit Alfan semakin buruk lalu Alfin... dia mengalami mati otak akibat cedera yang sangat parah. Kemungkinan besar Alfan bisa hidup dengan transplantasi jantung dari Alfin. Sedangkan mati otak kemungkinan untuk hidup kecil bahkan hampir nggak ada. Dokter memberi pilihan Alfan dapat hidup namun tidak akan lama karena kondisinya yang semakin memburuk dan membutuhkan transplantasi jantung secepatnya sedangkan kondisi Alfin berada dalam keadaan koma dan nggak akan sadar kembali. Mama yang bukan orangtua mereka merasa berat untuk memilih, apalagi Anggi sebagai ibu kandung mereka."
Seperti ada batu besar yang menghimpit pernapasannya, Aldifa merasa sulit untuk bernapas. Tangisnya semakin tak terbendung. Bintang yang melihat itu memeluk anaknya.
Perpisahan paling menyakitkan adalah kematian. Dalam situasi ini untuk bertahan hidup pun harus memilih dan merelakan.
Aldifa melepaskan pelukannya. "Aldifa mau ketemu Alfin."
Bintang mengangguk, ia dan Aldifa pergi dimana Alfin berada.
Aldifa melangkah mendekati tubuh yang tertutupi kain. Ia membuka kain dari ujung kepala. Wajah pucat Alfin yang terpejam begitu tenang seakan beban yang selama ini dipikulnya telah hilang.
"Fin," Aldifa mengusap pipi Alfin, terasa dingin. "Gue nggak tau mau ngomong apa. Terlalu sulit bagi gue berada di situasi sekarang."
"G-gue sayang sama lo... Awal pertemuan kita cukup singkat tapi itu berkesan bagi gue. Gue rasa saat itu gue jatuh cinta sama lo. Waktu itu lo pergi tiba-tiba cukup menyakitkan, Fin. Dan sekarang, hal itu terulang lagi tapi kali ini lebih menyakitkan."
Aldifa memukul dadanya beberapa kali. Di ruangan yang sunyi itu tangisnya meraung-raung. Dipaksa untuk mengikhlaskan rasanya sangat berat.
"Biarin gue nangis kali ini aja... Gue nggak mau lo pergi, gue nggak mau lo ninggalin gue kayak gini..."
Aldifa memeluk Alfin, bahunya bergetar hebat. Untuk menghentikan tangisnya rasanya sangat sulit. Memeluk Alfin seperti ini membuatnya teringat kenangan singkatnya bersama Alfin.
Aldifa berada diposisi itu selama beberapa menit. Ia menatap Alfin lekat. Berat rasanya untuk meninggalkan Alfin sendirian.
![](https://img.wattpad.com/cover/140954769-288-k83633.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Ficção Adolescente[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...