Dalam rumah bergaya minimalis itu, seorang paruh baya berjalan tergesa-gesa menghampiri anaknya yang baru memasuki rumah. Ia menelisik tubuh anaknya barulah bisa bernapas lega.
"Kenapa sih, Pa?" tanya si anak bingung melihat tingkah Papanya.
"Katanya musuh Papa udah sampai di Jakarta. Papa takut kamu kenapa-napa,"
Si anak duduk di sofa ruang tamu, diikuti Papanya yang masih memperhatikan anaknya.
"Terus, kalau musuh Papa udah di Jakarta kita harus pindah lagi, gitu?"
"Ya—"
"Alfin nggak mau! Sekali pun nyawa Alfin bakal terancam!" tandas Alfin, pergi meninggalkan Papanya yang terlihat frustasi.
***
Kamar yang tidak terlalu luas namun sangat nyaman untuk pemiliknya terlihat gelap. Hanya ada penerangan kecil dari lampu belajar. Hingga seseorang menekan saklar dan ruangan itu terang sepenuhnya.
Alfan menatap siapa yang telah menekan saklar. Ia tersenyum melihat seseorang yang telah merawatnya dari kecil, menghampirinya.
"Kirain udah tidur," ujar Bu Nur, lembut.
"Bentar lagi, ini lagi baca, tanggung." Alfan mengangkat sebuah buku yang tengah dibacanya lalu menyimpannya kembali. "Em ... Papa ...."
Mengerti dengan ucapan Alfan yang ragu, Bu Nur tersenyum. "Papa kamu kemarin ke sini. Ini uang pemberiannya." Bu Nur menyodorkan amplop putih pada Alfan.
Seperti biasa, Alfan selalu menolaknya. "Buat panti aja, Bu. Lagian Alfan nggak begitu membutuhkan uang."
"Ini buat kamu. Untuk panti, Papa kamu udah memberi donasi seperti biasa." Pun dengan Bu Nur, seperti biasanya ia akan menjawab begitu bila Alfan menolak.
Bu Nur menyimpan amplop di meja belajar. Mengusap bahu Alfan lembut lalu berkata, "Jangan terlalu malam tidurnya." Setelah mengatakan itu Bu Nur pergi meninggalkan Alfan. Tidak lupa menekan saklar dan ruangan kembali gelap.
Decitan pintu terdengar oleh gendang telinga Alfan menandakan pintu kembali tertutup. Alfan mengambil amplop itu lalu menyimpannya dilaci meja belajar bersama amplop-amplop yang lainnya. Ia tidak tahu cara menghabiskan uang sebanyak ini. Jadi yang dilakukannya hanya mentraktir adik-adiknya setiap hari, membelikannya sesuatu. Namun hal itu tidak membuat uangnya habis. Seakan-akan uang itu akan bertambah sendirinya walau pemiliknya menghamburkan setiap hari.
Di balik pintu kamar Alfan, Bu Nur enggan menyeret langkahnya untuk kembali ke kamarnya. Ia menahan suara tangisannya agar tidak terdengar oleh Alfan dan anak-anak lainnya. Selalu saja begitu, setiap ia memberikan amplop kepada Alfan, Bu Nur akan menangis setelahnya.
Karena baginya, Alfan adalah anak istimewa. Bu Nur mendidik Alfan untuk menjadi pribadi yang tangguh dan tidak mudah putus asa. Tentu itu semua karena penyakit Alfan. Sebisa mungkin Bu Nur membuat Alfan tetap semangat menjalani hidupnya mau sesulit apa pun rintangannya.
Bahkan Bu Nur mengerti mengapa orangtua Alfan menitipkan anaknya di panti asuhan. Memang kasih sayang dari orangtua kandungnya tidak Alfan dapatkan. Namun mereka begitu menginginkan masa depan Alfan secerah mungkin.
Alfan mempunyai cita-cita menjadi seorang dokter. Hal itu tidak Bu Nur sembunyikan dari orangtua Alfan. Mereka pun ikut senang mendengar apa cita-cita anaknya.
Mungkin sudah lima menit lebih Bu Nur menitikan air mata di depan pintu kamar Alfan. Kini ia menyeret langkahnya menuju kamarnya. Membawa banyak memorinya bersama Alfan.
***
Di tempat lain, dua orang gadis yang beda melakukan aktivitas saling diam. Hingga salah satu dari mereka membuka suara.
"Dif, perasaan lo dengan Kak Alfan dan Alfin gimana?" Kalea menutup novelnya. "Ya ... masing-masing dari kalian punya kisah tersendiri, kan."
Aldifa tak lantas menjawab, ia mematikan ponselnya lalu menghadap Kalea sepenuhnya.
"Gue senang begini, Kal. Perasaan gue ke Alfin udah mati sejak Alfan datang. Bahkan saat ini, gue nggak mau salah satu dari mereka ninggalin gue." Aldifa menghela napas berat.
"Kalau salah satu dari mereka ninggalin lo, gimana?" tanya Kalea penasaran.
"Gue bakal jaga yang satu lagi supaya dia nggak ninggalin gue juga. Tapi gue harap, keduanya nggak akan pernah ninggalin gue."
"Tapi, kalau misalkan lo yang ninggalin mereka, gimana?"
Aldifa menyenderkan kepalanya pada senderan kasur. Ia tampak berpikir. "Gue harap mereka bahagia. Ada atau pun tanpa gue."
Kalea tersenyum mendengar jawaban Aldifa. Entah kenapa Kalea mengajukan semua pertanyaan itu. Tapi ia merasa puas dengan jawaban Aldifa.
"Lo serius mau nginep di rumah gue?" tanya Aldifa, memastikan.
"Hem, gue lagi males sama Kelvin."
"Berantem?" tebak Aldifa.
Kalea menggeleng. "Nggak, cuma males aja gitu."
Aldifa mangut-mangut. "Gue tidur duluan, kalau lo mau tidur matiin lampunya."
"Okey."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Teen Fiction[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...