43. Luka itu ...

475 28 11
                                    

Kalea menyeruput es teh nya hingga habis lalu memijat pelipisnya pelan.

"Siapa sih yang bikin jadwal ulangan?! Hari pertama udah dikasih matematika sama fisika," geramnya pada penyusun jadwal ulangan akhir semester yang entah siapa.

"Emang kenapa, sih?" tanya Kelvin, suaranya datar seperti biasa.

"Bikin mual!"

"Ya tinggal muntahin."

"Sini muka lo, gue muntahin sekarang!" Kalea menarik kepala kembarannya secara paksa. Efek hitung-hitungan membuat Kalea sebrutal ini. Gadis penyuka sejarah dan seni budaya itu paling anti dengan rumus yang harus dipecahkan.

"Sakit woi!" Kelvin memukul lengan Kalea keras barulah kepalanya bisa bebas lagi walau sedikit berdenyut nyeri.

Aldifa dan Alfin yang bantu memisahkan mereka menggelengkan kepala. Tidak habis pikir dengan si kembar dimanapun mereka berada pasti akan berujung pertengkaran.

"Tapi lo jawab semua kan tuh soal?" tanya Aldifa pada Kalea.

Kalea mengangguk.

"Ya udah, seenggaknya ulangan lo nggak ada yang kosong-kosong jawabannya."

"Yang kosong emang nggak ada tapi tujuh puluh persen gue jawab dengan cara ngitung kancing," Kalea cemberut.

"Serius?" Alfin bersuara, tidak percaya.

"Parah lo, Kal." Aldifa menggeleng prihatin.

"Anak siapa sih lo?" Kelvin menoyor dahi Kalea.

"ANAK BUNDA!"

"Bunda nggak punya anak bego!" Kelvin membalas tak kalah sewot.

"Bunda juga nggak punya anak tolol!" balas Kalea.

Aldifa menghela napas berat. Lama selesainya kalau udah begini. Ia menatap Alfin yang juga menatapnya, memberi kode lebih baik mereka pergi dari sini. Alfin mengangguk, lalu secara bersamaan mereka bangkit meninggalkan si kembar yang masih adu mulut.

Mereka—Aldifa dan Alfin pergi ke pohon rindang di pinggir lapangan. Hitung-hitung ngadem dulu sambil nunggu cuaca yang masih terik ini reda. Aldifa menatap sekeliling, ia jadi ingat percekcokan dirinya dengan Alfan pada saat Masa Orientasi Siswa, bagaimana ketusnya dirinya pada Alfan. Seketika ia terkekeh ringan membuat cowok yang duduk di sampingnya menoleh heran.

"Lo kenapa?" tanya Alfin. "Nggak kerasukan penunggu pohon ini, kan?"

Tawa Aldifa pecah, kalian harus lihat wajah Alfin sekarang. Benar-benar membuatnya susah berhenti tertawa.

"Lo percaya yang begituan?" tanya Aldifa setelah tawanya reda.

"Ng-nggak, sih."

Mereka diam. Aldifa menikmati semilir angin yang menerpa wajahnya. Sedangkan Alfin jengah dengan perasaannya yang tidak bisa dikendalikan.

"Lo masih suka sama Alfan?" Ya, pada akhirnya pertanyaan itu lolos. Aldifa yang tengah memejamkan mata menoleh cepat ke arahnya.

Dia menatap Alfin dengan tatapan yang sulit diartikan. Aldifa sadar Alfin masih menyimpan rasa padanya. Tapi bagaimana cara ia menjawab tanpa menyakiti perasaan Alfin dan tanpa pula membohongi dirinya sendiri.

"Gue—"

"Aldifa!"

Aldifa dan Alfin menoleh bersamaan. Ia tersenyum pada Wina yang tadi memanggilnya dan juga sudah menyelamatkannya dari pertanyaan mematikan Alfin, menurutnya.

"Tumben berdua, Kelvin sama Kalea mana?" tanya Leo, yang langsung menyapanya dengan sebuah pertanyaan. Sedang satu cowok di sebelahnya—Alfan menatap Aldifa sembari tersenyum tipis.

"Mereka di kantin, lagi ribut," sahut Aldifa.

Leo menganggukan kepala, tidak heran dengan kelakuan si kembar yang tidak identik itu.

"Eh ada bola basket tuh. Main yok, Fan—Ah, sori. Fin main basket yuk sama gue." Leo mengusap tengkuknya sembari meringis merasa tidak enak telah mengajak Alfan bermain basket.

Alfan menatap Leo biasa saja. Mengartikan kalau ia tidak terpengaruh dengan ucapan Leo barusan.

Alfin menimbang-nimbang sebentar lalu mengangguk menandakan ia setuju untuk bermain basket. Lagi pula ia sudah lama tidak menggerakan otot-ototnya.

Leo mengambil bola basket lalu memantulkannya sampai ke tengah lapang. Alfin mengikutinya dan kini berhadapan langsung dengan Leo.

"Lo nggak serius, kan bakal main basket masih pakai seragam?" Leo menatap Alfin yang seragamnya masih melekat di tubuhnya bahkan masih rapi.

Alfin mengedikan bahu. Ia berlari menghampiri Aldifa, Alfan dan Wina yang duduk di bangku kayu tempatnya dan Aldifa tadi sambil melepaskan kancing seragamnya.

"Gue titip ini, Al." Alfin memberikan seragamnya pada Aldifa dan menyisakan kaos hitam di tubuhnya yang sengaja dikeluarkan dari celana seragam.

Aroma mint dari seragam Alfin membuatnya tenang. Ditambah segelintir angin sepoi-sepoi. Rasanya ia ingin memejamkan mata lalu terlelap menjelajahi alam mimpi. Tapi semua itu hanya angannya disaat dirinya malah kesal karena teriakan Kalea tepat di telingannya.

"Lo ninggalin gue, sialan banget!"

Aldifa menggeram kesal sambil mengusap telingannya. Matanya menatap tajam Kalea yang kini sudah duduk di samping Wina.

"Lho pada main basket," ucap Kelvin entah pada siapa saat melihat Leo tengah berusaha merebut bola oren itu dari Alfin. "Lo nggak ikutan?" tanyanya sambil menunjuk Alfan yang duduk di sebelah Aldifa sambil memandang ke lapangan.

"Gue—"

"Gue nggak ngebolehin, kenapa, masalah?" Aldifa mendadak sewot pada Kelvin. Ia sendiri bingung dengan dirinya. Yang dirasakan sekarang hanya tidak ingin Alfan dipandang rendah oleh Kelvin.

Kelvin mengedikan bahu acuh. Ia berlari ke tengah lapang dan ikut bermain basket tanpa melepaskan seragamnya seperti Leo dan Alfin, hanya semua kancing seragamnya saja yang dilepas.

Alfan menatap Aldifa lekat, yang ditatap sadar dan menoleh. "Kenapa?"

"Lo pengin gue main basket?" tanya Alfan, sedikit ragu.

"Lo mau nyari mati?" desis Aldifa tajam.

"Gue nggak suka dipandang rendah." Sorot mata penuh luka, dan Aldifa benci menatapnya.

Aldifa diam sesaat. "Terserah lo."

Alfan mengangguk dua kali dan hendak bangkit. Tapi belum sempat dia berdiri Aldifa mencekal tangannya.

"Lo serius?!" tanya Aldifa, ia tidak habis pikir jika Alfan bener-benar ikut bermain basket.

"Kenapa?"

Aldifa menoleh pada Wina yang asik bercengkrama dengan Kalea lalu kembali menatap Alfan. Tatapannya kini berubah sendu.

"Gue sayang sama lo. Jangan mati sekarang."

***

Setelah perdebatan kecil tadi Aldifa dan Alfan sama-sama diam. Aldifa memfokuskan pandangannya pada permainan basket dadakan itu. Sama hal dengan Aldifa, Alfan berusaha memfokuskan dan ikut larut menonton permainan basket, tapi justru pikirannya kian berkecamuk merutuki dirinya yang bodoh hampir nekad membahayakan dirinya sendiri jika Aldifa tidak menahannya.

Aldifa melirik Alfan lewat ekor matanya. Raut wajah datar, Aldifa yakin Alfan sedang bergelut dengan pikirannya. Ia menghela napas panjang lalu menonton kembali permainan basket.

Beberapa menit berlalu, Leo, Alfin dan Kelvin terus saja memperebutkan bola dan belum ada yang memasukannya ke dalam ring. Membuat bosan saja. Hingga kali ini, Alfin merebut bola dari Leo memantulkannya lalu melemparkannya ke dalam ring. Dan masuk.

Aldifa tercengang. Bukan karena Alfin berhasil memasukan bola. Melainkan saat Alfin loncat dan bajunya sedikit tersingkap. Aldifa bisa melihat luka tusukan di perutnya. Dan, luka itu ... mengingatkannya pada beberapa hari setelah ia masuk ke sekolah ini.

***

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang