Baru saja ia membuka gerbang rumahnya, Aldifa sudah dikagetkan dengan dua cowok yang tengah adu laser. Mereka saling tatap dengan tatapan tak mau kalah.
"Kalian ngapain deh di depan rumah orang, pake tatap-tatapan segala. Ntar saling suka tau rasa lo berdua." Aldifa terkekeh melihat raut keduanya yang saling membuang muka.
"Ke sekolah bareng gue, Al." Alfin menarik Aldifa menuju mobilnya.
Belum sempat melangkah, Alfan menarik pergelangan tangan Aldifa yang bebas.
"Nggak. Dia bareng gue!" Alfan memberikan tatapan sinis pada Alfin.
"Emang siapa lo! Jangan sok ngatur." Alfin membalas tatapan Alfan lebih tajam.
"Gue?" Alfan menunjuk dirinya sendiri. Tertawa garing, mendadak salah tingkah. "Pacar ... nya."
Aldifa menganggukan kepala. "Lebih tepatnya mantan," sindir Aldifa.
Alfin terbahak untuk lima detik. "Udah mantan kan? Bukan pacarnya lagi. Jadi nggak masalah dong kalau Aldifa bareng gue."
Alfan berdesis kesal. Pagi-pagi begini udah menguras tenaga. Kalau tahu bakal kayak gini dari kemarin Alfan udah chat Aldifa biar bareng dengannya. Tadinya kan mau ngasih suprise gitu, eh malah adek kelas modelan gini datang.
"Masalah. Al, bareng gue!" Alfan menarik lengan Aldifa tetapi Alfin juga ikut menarik.
"Tangan gue bisa lepas kalau ditarik begini!" pekik Aldifa, menghentakan tangannya dari cekalan Alfan dan Alfin. Ia menghela napas berat, melipat tangannya di depan dada. "Gue naik angkot aja. Terserah kalian mau lanjut adu bacot sama adu laser atau pergi ke sekolah. Gue nggak peduli!"
Aldifa hendak melangkah namun ia dikagetkan kembali dengan si kembar. Tatapan mereka sulit diartikan. Aldifa berusaha tidak peduli dan melanjutkan langkahnya.
Sepertinya hidup Aldifa akan benar-benar berubah. Dengan dua orang yang mempunyai perannya masing-masing. Yang membuat ia tersenyum di waktu yang berbeda. Pun dengan luka yang ditorehkan.
***
Aldifa mengusap bulir keringat di pelipisnya. Untung saja ia tidak terlambat datang. Nyebelinnya naik angkot tuh kadang supirnya suka nungguin penumpang yang jaraknya masih jauh. Nggak tahu apa kalau isi penumpang di angkot itu udah kesal setengah mati. Tapi lebih nyebelin lagi kalau Aldifa harus memilih salah satu diantara mereka yang menawarkan untuk pergi ke sekolah bersama.
Sesekali Aldifa tersenyum tipis saat seseorang menyapanya di koridor. Nggak mau sombong sih, tapi siapa yang nggak kenal Aldifa yang notabenya mantan Alfan sang ketua osis. Emang ya resiko pacaran sama orang yang punya jabatan di sekolah itu enak nggak enak.
"Al!"
Aldifa menoleh. Terlihat Alfan berlari kecil menghampirinya. Ketika sampai di hadapan Aldifa, Alfan membungkukan badannya mengatur pernapasannya agar kembali normal.
"Lo kenapa lari sih, kan bisa jalan biasa aja. Gue tungguin." Aldifa mengusap punggung Alfan pelan. Nada suaranya terdengar khawatir.
Ia masih belum tahu penyakit Alfan apa. Namun melihat kondisi Alfan yang sekarang, Aldifa yakin penyakit itu belum benar-benar sembuh.
Alfan menegakan tubuhnya. Ia tersenyum seperti biasa. Tangannya menyodorkan sebotol minuman isotonik pada Aldifa.
"Jakarta itu nggak pagi, siang, sore bahkan malem pasti macet. Apalagi lo naik angkot tadi pasti agak kesel. Nih, buat lo."
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Teen Fiction[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...