30. Terpuruk

547 35 10
                                    

"Dif, makan dong. Dari pagi lo belum makan," ucap Kalea, sedikit pasrah.

Sebentar lagi malam menjemput, Aldifa yang sejak pagi hanya diam di kamar sesekali membuka ponselnya hanya untuk melihat apakah pesannya dibalas atau tidak.

"Menurut gue, lo lebay banget, Dif. Masa cuma gara-gara si Alfan nggak ada lo sampe nggak makan begini," cibir Kelvin, Aldifa hanya meliriknya sekilas tanpa minat membalas.

Aldifa tidak menangis secara langsung, hatinya yang menangis. Entah kenapa rasanya lebih sakit dibandingkan dulu. Kalau begini terus ia tidak tahu apa yang terjadi. Leo dan Wina tidak bisa dipaksa untuk buka mulut. Semuanya begitu rapi mereka sembunyikan, tidak ada celah untuk ia cari tahu Alfan dimana dan kemana.

Drrtt

Aldifa melihat ponselnya, tapi sayang, itu bukan panggilan telepon untuknya tapi Kelvin.

"Apa, Fin?"

"...."

"Gue di rumah Aldifa,"

"...."

"Biasalah, galau gara-gara cowok,"

"...."

"Oh, boleh dong. Btw, di rumah Aldifa juga ada playstation."

"...."

"Oke."

Mata Aldifa melebar sempurna. "Kok lo bolehin Alfin dateng ke sini, sih?!"

Kelvin menjawab sambil mendengus. "Ya siapa tau dia bisa ngehibur lo yang lagi galau. Kalau gue liat dari makan malam kemarin, Alfin kayaknya suka sama lo."

Aldifa mendelik malas. Apa katanya? Suka? Cih. Aldifa sangat ingin meneriaki Kelvin kalau Alfin yang membuat dirinya berubah. Lebih banyak diam dibandingkan saat Alfin belum pindah ke SMP-nya dulu. Tapi, semua itu hanya akan membuat si kembar bertanya-tanya. Mereka akan tahu kalau ia dan Alfin sudah kenal sebelum makan malam kemarin.

"Dif, lo mau apa? Gue beliin deh, burger, pizza, rainbow cake, thai tea, atau apa? Yang penting lo makan. Lo mau apa, hm?" tanya Kalea terlihat frustasi.

"Alfan," gumamnya.

"Oke, gue beliin. Eh anjir, itu mah manusia bego. Gue kan nawarinnya makanan bukan manusia." Kalea menepuk jidatnya, saking frustasinya menghadapi Aldifa ia sampai linglung begini.

"Dia yang galau kok lo yang repot sih, sempak?!" tanya Kelvin dengan suara yang lebih tinggi. Sejahat-jahatnya Kelvin dengan Kalea ia akan muak jika kembarannya diperlakukan secuek itu. Apalagi Aldifa sahabat mereka berdua.

"Nggak usah nge-gas juga kali! Sesama cewek gue bisa ngerasain keterpurukan Aldifa. Kan nggak tau kedepannya kayak gimana, bisa jadi nanti gue yang lebih terpuruk dari dia. Dan saat gue terpuruk mungkin yang lebih gue butuhin sahabat cewek daripada saudara serahim tapi emosian gini. Gue lebih muak dari lo, Kelvin!" napas Kalea naik-turun. Wajahnya merah padam.

Kelvin bungkam, ia tidak menyangka omongannya tadi bisa membuat kembarannya semarah ini. Kalau semuanya disimpulkan, Kelvin muak dengan Aldifa dan ia sedang membela kembarannya. Tapi berbeda dengan Kalea, Kalea lebih muak dengan Kelvin karena dia selalu membelanya dan dilihat dari sisi lain, pembelaan Kelvin padanya semakin membuat Aldifa terpuruk.

Ia benci sifat Kelvin yang asal bicara. Kalau bicaranya bisa bikin ngakak sih nggak masalah. Tapi ini malah nyakitin. Bahkan ia sendiri pernah menangis dipojokan kamarnya karena kata-kata Kelvin yang membuat hatinya sakit.

Kelvin tersenyum sinis, "Ya, kita serahim tapi kita berbeda,"

Setelah mengatakan itu Kelvin melangkah hendak keluar dari kamar Aldifa tapi suara sinis Kalea membuat ia merasa gagal menjadi pelindungnya.

"Lo yang memilih berbeda!"

Kalea menangis setelah Kelvin keluar kamar. Aldifa yang menyaksikan pertengkaran mereka yang tidak biasa merasa bersalah. Aldifa memeluk Kalea, membiarkan gadis rapuh itu menangis dipelukannya.

Ini adalah titik terlemah mereka berdua. Dalam heningnya suasana senja, mereka menangis bersama. Terpuruk dalam hal yang berbeda. Entah siapa yang harus disalahkan.

Diam. Mungkin itu pilihan yang tepat. Terkadang semua hal tidak harus diucapkan dengan lisan, tapi ada saatnya hanya hati yang mengucapkan dalam diam.

***

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang