Istirahat kedua digunakan Aldifa untuk bermalas-malasan di kelas. Biar saja Kelvin dan Kalea mengantri pesanannya di kantin. Entah kenapa hari ini Aldifa begitu malas melakukan apapun. Dari berlangsungnya kegiatan belajar dimulai Aldifa tidak fokus. Ia hanya mencoret-coret kertas dibukunya yang berada dihalaman paling belakang.
"ALDIFA! Gawat, ini bener-bener gawat!" heboh Kalea saat memasuki kelas.
Kalea mengatur napasnya terlebih dahulu agar kembali normal lalu mulai menjelaskan apa yang wajib ia jelaskan.
"Kak Alfan, dia ada di lapangan," kata Kalea.
Aldifa mengerutkan dahinya, "ya terus kalau dia di lapangan, ada masalah?"
"Ada! Masalahnya benar-benar gawat!" pekik Kalea.
Jantung Aldifa berdegup kencang. Ia mulai merasakan sesuatu yang tidak enak. Matanya menatap Kalea agar menjelaskan apa yang terjadi secara detail.
Kalea paham akan tatapan Aldifa, ia menjelaskan dengan singkat, padat, dan jelas.
"Jadi, Kak Eza tantang Kak Alfan buat tanding basket. Kalau Kak Alfan kalah, Kak Alfan harus buat lo sama Kak Eza pacaran. Dan sekarang Kak Alfan ada di lapangan dengan kondisi yang sekarat, gue juga bingung dia ken—"
Aldifa langsung berlari keluar kelas. Napasnya memburu. Bukan karena dirinya dijadikan taruhan. Tapi karena kondisi Alfan yang tidak baik-baik saja.
Berbagai macam umpatan untuk Eza si Kapten Basket ia ucapkan dalam hati. Kalau sampai terjadi apa-apa dengan Alfan, Aldifa tidak yakin dengan kondisi Eza keesokan harinya.
Sampai di dekat lapangan Aldifa dibuat sesak dengan banyaknya orang-orang yang hanya melihat tanpa ada sedikit rasa simpati. Tak membuang waktu, Aldifa membelah puluhan siswa-siswi yang asyik menyaksikan kejadian.
Aldifa dibuat terkejut saat melihat kondisi Alfan. Wajahnya memerah, napasnya benar-benar tak terkendali. Alfan sudah seperti orang yang sedang dicabut nyawanya.
Mata Aldifa bertemu dengan mata Wina yang menatapnya sinis. Wina tengah mengusap punggung Alfan sembari terus membujuk Alfan agar meminum air yang dibawanya. Tak jauh dari mereka, Aldifa juga melihat Leo yang sangat murka pada Eza.
Aldifa berlari mendekati Alfan. Dengan cepat Aldifa mendekap Alfan. Sebenarnya yang terlihat seperti Alfan yang memeluk Aldifa. Tetapi bagi Aldifa, dirinya lah yang memeluk Alfan. Pelukan kedua setelah sebelumnya Aldifa memeluk Alfan dengan kondisi yang tidak baik karena melawan preman yang menyakiti anak kecil. Tapi kondisi sekarang lebih parah dari sebelumnya.
Aldifa memeluk Alfan untuk waktu yang sangat lama. Bahkan suara siswa-siswi tidak lagi terdengar di telinganya. Dan Aldifa tidak peduli akan hal itu. Karena telinga Aldifa seperti dipenuhi dengan suara detak jantung Alfan yang mulai kembali normal.
Setelah detak jantung Alfan normal kembali dan napasnya mulai teratur, Aldifa melepaskan pelukan mereka. Ralat, bukan mereka, tapi Aldifa yang memeluk Alfan. Karena sedari tadi lengan Alfan seperti tidak mempunyai tulang.
"Lo jangan pernah melakukan hal-hal aneh lagi seperti sekarang!" tegas Aldifa. Ia mengusap keringat yang mengucur disekitar dahi Alfan menggunakan tangannya.
Alfan tersenyum sendu. "Maaf, gue sok jagoan ya?"
Aldifa menggeleng. "Lo nggak kuat, tapi lo juga nggak lemah." Aldifa mengikuti kata-kata yang pernah diucapkan Papa Alfan tempo hari.
"Ajak dia ke UKS!" perintah Aldifa pada Wina sambil melirik Alfan.
Awalnya Wina mendengus kesal. Tapi ia tidak berkomentar apa-apa dan menuruti perintah Aldifa untuk mengajak Alfan ke Unit Kesehatan Sekolah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Triple Al [End]
Roman pour Adolescents[Sequel Bintang Jatuh] Aldifa akan ceria jika bersama Alfin, si cowok dingin yang irit ngomong. Aldifa akan cuek jika bersama Alfan, si cowok nyebelin yang banyak ngomong. *** Aldifa sudah nyaman dengan Alfin, nyaman raga dan juga hati. Ta...