14. Rasa Keingintahuan

645 39 0
                                    

Aldifa merebahkan tubuhnya di kasur. Ia memejamkan mata dan bayang-bayang wajah Alfin memenuhi pikirannya. Entahlah, antara yakin dan tidak kalau yang tadi ia lihat adalah Alfin. Atau mungkin karena ia sedang rindu dengan sosok teman sebangkunya semasa SMP yang hanya menemani selama lima hari.

Sifat dingin itu, senyum tipisnya, kata-kata singkat yang dilontarkan, membuat kepala Aldifa seketika mau meledak. Mungkin saat ini Aldifa rindu namun disisi lain Aldifa kecewa.

"Huft...."

Aldifa menghembuskan napas lewat mulutnya. Ia membuka mata dan merubah posisinya menjadi duduk. Aldifa mengambil ponselnya yang tergeletak di lantai bersamaan dengan tas sekolahnya.

Dibukanya aplikasi Line. Ia membuka pesan yang menampilkan nama ejekan Kalea.

Sempak Kuda

Malam ini gue sama Kelvin mau ke kafe biasa, lo mau ikut nggak?

Boleh

Oke, nanti gue ke rmh lo

Hm

Aldifa tersenyum tipis. Kalea seakan-akan tahu kalau Aldifa sedang dalam suasana hati yang tidak baik. Pergi ke kafe mungkin bisa menghilangkan rasa galau-nya terhadap Alfin.

Kafe yang dimaksud tidak terlalu jauh dari rumah Aldifa, Kelvin, dan Kalea. Karena letak kafe itu persis di seberang komplek perumahan mereka. Seperti kebanyakan remaja lain, mereka ke kafe hanya untuk menjernihkan kepala. Kadang bercerita, kadang belajar, atau hanya iseng karena bosan berada di rumah.

Kafe itu pun mempunyai desain ruangan yang menarik, yang membuat semua pengunjung tidak pernah bosan berada disana. Aldifa, Kelvin, dan Kalea paling suka berada di lantai dua kafe itu karena tempatnya outdoor. Mereka bisa menikmati semilir angin sambil menyesap cokelat panas.

Aldifa mengambil handuk yang menggantung di dekat pintu kamar mandi. Ia harus membersihkan diri terlebih dahulu sebelum ke kafe nanti. Sebenarnya Aldifa malas mandi sore, tapi jika Bintang tahu ia tidak mandi, Bintang akan mengomel sampai besok.

Kurang dari dua puluh menit Aldifa keluar dari kamar mandi. Ia memilih pakaian biasa dengan tambahan hoodie berwana biru laut. Rambutnya seperti biasa, dikucir kuda.

Aldifa mengambil ponselnya yang tadi disimpan di nakas dan beberapa uang. Ia keluar kamar menuju ruang keluarga. Jam-jam segini pasti Papanya sudah pulang dari kantor dan beristirahat di ruang keluarga sambil menunggu makan malam tiba.

"Halo, Pa," sapa Aldifa sambil merebut toples berisi kue kering dari tangan Rafa.

"Kebiasaan kamu, main rebut-rebut aja," cibir Rafa

Aldifa nyengir, memperlihatkan sederet gigi putihnya. "Yang penting nggak rebut pacar orang, Pa."

"Sebahagia kamu saja, nak," ucap Rafa, memutar bola matanya malas. Ia melihat penampilan anaknya yang rapi. "Mau kemana kamu?"

"Biasa,"

"Biasa?"

"Iya, biasa."

"Oh, Papa ngerti, pasti mau jalan sama pacar kamu ya?" tebak Rafa.

Decakan pelan dari mulut Aldifa mewakili bahwa ia bosan dengan perkataan Papanya tentang dirinya yang sudah punya pacar.

Triple Al [End]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang